Entahlah, lagi-lagi aroma kembali menyudutkanku pada memori-memori usang yang bahkan telah dikubur dalam-dalam. Aroma seperti genderang yang membangunkan seluruh penduduk yang tidur, dan seperti angin muson Timur yang memanggil puluhan nelayan untuk berlayar.
Aroma menyeruak seakan berjuta neuron dalam otak bersatu padu menguak 'sebendel' dokumen di laci-laci memori.
Sesaat setelah kubuka kain goni berisi kopi ini, aroma yang tak asing menghampiri. Betapa hingar, aroma Papua Wamena ini menyeruak pelan. Bebungaan dan citrus memapas hidungku. Rasa masam dan pahit yang kukenali, telah memenuhi langit-langit mulut.
Ia mengingatkanku kepada novel-novel fiksi, cat-cat akrilik, puluhan buku-buku tua, serta puisi-puisi yang berserakan. Aroma tak asing ini juga membawaku kepada dengan riang kulukisi dinding-dinding lapuk itu hingga penuh, kembali terlintas idealisme-idealisme usang yang dengan teguh kudekapi.
Aroma yang tak asing ini seakan membawaku kepada diriku yang membara, penuh imajinasi. Masa di mana; kopi ialah teman terbaik; manakala beberapa kali aku mengenal cinta; manakala pula aku menjumpa hati yang patah.
Pagi ini, kembali kuteguk Ia dengan rasa harap. Sontak, mataku terkesiap. Seakan jiwaku terbelah dan terbang menjauh. Dengan gelas yang tetap di tangan, mataku melihat diriku yang lain. Ia sedang kegirangan bersama cat akriliknya, kegirangan telah selesai menulis beberapa cerpen dalam semalam. Ia menari-nari, meneriaki kebebasan. Tak lama, sosok diriku yang lain itu lantas perlahan memudar. Membentuk pixel-pixel padat yang perlahan terangkai, memunculkan warna dan bentuk, yang kupahami ialah diriku yang sekarang. Di depanku seakan muncul cermin tipis yang bersih dan murni. Refleksi itu tampak kebingungan. Sedetik, dua detik, tiga detik, dengan sisa-sisa pahit yang masih merambah pada lidahku, sosok dalam refleksi itu berbisik pelan.
"Kamu telah melakukan yang terbaik." Ucapnya.
Entah, mendengarnya demikian aku tertawa terbahak-bahak. Seraya ingin ikut menari, namun tiba-tiba..
"Ngapain ketawa sih, Din?". Suara ibu bertanya lekat, ia memecahkan lamunanku.