Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh.
"Akankah rindu akan kadaluarsa?"
Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.
Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.
Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan.
Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rinai gerimis pagi buta, yang diam-diam membasahi seluruh genting dan anak-anak daun. Bisa juga, ia menjelma seperti salakan anjing. Berisik dan berulang-ulang. Atau mungkin, rindu akan menyatu bersama tentara bersenjata yang tak sengaja tertembak di medan perang, jatuh tersungkur rebah-jimpah.
Yang pasti, rindu yang telah digariskan tak mampu dihindari. Ia akan terus menghangatkan dada. Seperti aliran listrik yang menghidupkan lampu-lampu di gulitanya hati, atau seperti nyala lilin pada perayaan umat Hindu, menebar doa-doa ke atas langit.
Dalam kepalaku, jutaan neuron mencoba menafsirkan. Apakah ada pupuk yang sengaja ditabur tanpa aku tahu, yang menjadikannya terus bertumbuh subur dan meruah. Terus bertumbuh, membesar, dan membuncah. Apakah tak seharusnya ia lenyap bersama memori-memori pahit yang sialnya dipilih oleh otak untuk menetap? Jikalau demikian, bukankah rindu seharusnya kadaluarsa?
Jika tidak, manalah mungkin jadinya, bila rasa hangat dalam dada ini kian hari kian membara. Sedangkan orang tersebut justru sudah pergi, bahkan menghilang, tanpa memperlihatkan punggungnya sedetikpun. Ia seperti hantu siang bolong yang membawa petaka.
Sungguh. Bila ternyata rasa rindu ini benar telah kadaluarsa, maka biarkan saja, setidaknya akan ku rawat museum indah dalam memori. Meski waktu terus bergulir, bahkan begitu cepat selintas cahaya, bahkan seseorang itu pun bahkan telah melintas pada planet yang lain. Setidaknya, di waktu itu, bahagiaku merona hingga pipiku merah bunga sepatu.
Ah, andai saja kita semua bisa kembali ke tahun 2020.
Dinie Wicaksani
Bogor, 2024