Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret 22, 2015

Valentine Terakhir

Pagi yang hangat kembali menyapa alunan musik merdu yang sudah ku nyalakan dari kotak musik milikku. Hujan terus mengguyur perawakan bumi, menyisakan aroma kenangan yang terus meluluhlantakkan setiap insan yang ada. Rintiknya membiaskan kenangan serta anekdot para pelaku rindu, dinamis, serta membius setiap detik sisa aroma kenangan itu menjadikannya racun yang mematikan. Musik yang beralun semakin beradu, ku alung-alungkan kedua tangan seiring dengan irama. Hingga berhentilah aku pada secercah kenangan yang membuatku berhenti menari, tertunduk lesu, hingga lunglai tak terbendung. Air mataku menguar tanpa perintah, sedangkan ragaku seperti lemas yang entah, degup jantungku mempercepat degupannya, serta bibirku kelu. Aku terbius racun itu. Racun kenangan yang terbias dari rintiknya hujan, memang hujan selalu dapat menghantarkan kenangan dengan baik. Senja yang lalu, kami pernah berdiri di beranda. Melihat sejuta pixel warna yang melengkung menjadi satu, seperti kejinggaan. Berlar...

Aku Obesitas...

“ Aku Obesitas….”             Begitulah seringkali orang menyebutku, karena memang berat badanku lebih dari seratus kilogram pada saat ini. Obesitas itu jelek, obesitas itu nggak sehat, obesitas itu aneh, obesitas itu langka, obesitas itu penyakit, obesitas itu gaya hidup berlebihan. Perkataan-perkataan itulah yang sering ku dengar. Bahkan menjadi makanan batinku sehari-hari. Mulai dari kelas lima sekolah dasar, masa pertama kali aku mengenal istilah ini dari guruku. Waktu itu aku mendapatkan nilai yang buruk untuk mata pelajaran matematika, lalu sang guru pun menghukumku untuk skotjam dua puluh kali.             “Skotjam dua puluh kali, sambil pegangan meja. Obesitas kayak kamu kan tulangnya rawan, loncat-loncat nanti patah. Hahaha.” Bukan hanya guru itu yang menertawakanku habis-habisan, sekelas pun. Aku malu, tanpa tahu apa itu obesitas. Entah pada saat itu memang ...

Perempuan Pembawa Pot Bunga

Diam. Meliuk-liuk. Ia menari-nari di bawah anyaman rotan. Serta tanaman anggur yang menjalar dengan rapih. Kebayanya tersingkap. Semilir angin menerbangkan sebagian kainnya, Lalu, ia menendang-nendang pasir yang lembut. Ia meniupi pasir putih yang ada digenggamannya. Separuh rambutnya tergerai kusut. Terbang tak jelas menuju kemilau awan yang biru. Tak lama kemudian, diambilnya sebuah cawan. Berisi air anggur yang sedikit memabukkan. Lalu perlahan ia menengguknya. Terlihat urat lehernya membusung. Kurus. Menggoda. Secawan anggur itu tinggal separuh. Lalu ia mendengar suara parau.  Perlahan tapi pasti. Keras. Semakin keras. Teriak. Gaduh.  Sesaat, suara ombak mendamaikan. Oh. Tidak. Mensunyikan. Ia menari lagi. Menyusuri ombak dan karang yang siap menghempaskannya. Tak lupa sebuah pot ia jinjing. Ini hidupku, katanya. Anakku tertanam di sini, batinnya. Bukan. Anaknya mati tertelan ombak. Terbujur kaku. Ini tanah dari kuburan anakku. Namun liat,...