Sudah sepantasnya pungguk tak boleh diterima Ia harus dicaci dan dilecehkan Tak boleh dibela apalagi didengar suaranya Ia hanya boleh menangis diam-diam serta mendongak menunggu kepit ketiak langit Ia hanya boleh membiru, Karam, hingga sirna bukan kepalang Lalu, ia mati tanpa ada satu yang tahu jasadnya ada di mana : ia sudah lama pergi, jauh sekali. Sebelum lukanya kering, ia sudah sering menghilang. Tubuhnya hanya ketetapan yang sementara. Mungkin, ia sedang menikmati kepahitan. Ucapnya lirih. —Dinie Wicaksani
Hidup ini adalah goresan yang tak selesai.