Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari 17, 2019

Pungguk Biru

Sudah sepantasnya pungguk tak boleh diterima Ia harus dicaci dan dilecehkan Tak boleh dibela apalagi didengar suaranya Ia hanya boleh menangis diam-diam serta mendongak menunggu kepit ketiak langit Ia hanya boleh membiru,  Karam, hingga sirna bukan kepalang Lalu, ia mati tanpa ada satu yang tahu jasadnya ada di mana : ia sudah lama pergi, jauh sekali. Sebelum lukanya kering, ia sudah sering menghilang. Tubuhnya hanya ketetapan yang sementara. Mungkin, ia sedang menikmati kepahitan. Ucapnya lirih.  —Dinie Wicaksani

pungguk buruk rupa

Baiklah, mulai dari sekarang pungguk tak boleh merindukan naungan langit. Jangankan untuk mendapatkan perhatian dari bulan, setidaknya ia masih mempunyai dirinya sendiri. Untuk mencintai dan dicintai. Pungguk tak boleh mengadu, ia tetap harus menjaga dirinya sendiri. Sebab ia buruk rupanya, tak berharga tahtanya. Goblok pula tingkahnya. Tak mampu menjadi yang bisa diandalkan, pantas saja langit memusuhi. Jangankan bulan. Pungguk, sesekali menangislah di depan cermin. Barangkali bayanganmu akan membuatmu tertawa.  Pesanku, jangan buang-buang air mata. Sembuhkan saja lukamu, kalau ia belum kering jangan mau dipaksa pulang ke hadapan langit. Namun, jangan takut dihujani sebab bisa jadi air matamu akan tersamar. Belajarlah menyerap cahaya matahari, supaya kau sirna dalam penerangan. Sesekali menghilanglah.. tak apa, kau sudah biasa menghilang dalam kerumun. —Dinie Wicaksani