Denting jam terus berbunyi. Suara bising
itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda.
Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai
menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi
coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak
lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut
yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya.
“Strategi pemulihan kota? Hahahaha!”
Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada
raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut
matanya.
“Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang
Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.”
Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya
pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa
segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pada sang perempuan. Tampak jelas
betapa warna auranya membiru keunguan. Menyandingkan antara kegelisahan dan
rasa cinta yang membayang pada luar kemejanya.
“Benar! Semua yang aku rumuskan
benar-benar sia-sia. Seperti menanam kaktus pada tanah yang gembur. Aku tak
mengerti lagi.” Ia meletakan gelas itu pada sebuah meja yang tak jauh pada
tempatnya berdiri. Di depannya, perempuan itu sungguh menawan. Senyumnya yang
mendamiakan, bibirnya yang tipis merona, pipinya yang sintal, serta hidung yang
tajam dan lurus. Belum lagi tubuhnya yang dibalut oleh sebuah gaun putih bersih
dengan rambut yang bergerai.
“Kau harus tahu, bahwa setiap permasalahan yang ada di negeri ini
pasti bisa diselesaikan. Seperti yang kau jelaskan tentang teori deterministik,
Pusara. Apa kau tak mengingat?” Tangannya menyambut tulang pipi Pusara dengan
lembut. Hangat dan sungguh mendamaikan. Kian tubuhnya merapat. Kemudian dua
kecupan tipis pada pipi kirinya membuat Pusara melangkah mundur. Ia mengambil
gelasnya lagi dan kemudian melenggang pergi.
“Ini kantor, Ranaya. Tidak di sini.”Ia
tercekat, telapak tangan yang hangat itu harus ia tanggalkan dengan cepat
sebelum ada yang melihat kedekatan keduanya. Ranaya terkekeh melihat kekasihnya
yang bertambah gelisah. Ada cahaya yang redup di sana.
“Baiklah, aku akan kembali ke ruanganku.”
Ucap Ranaya dengan senyum geli yang masih merasuk pada raut wajahnya, kemudian
meloyor pergi.
Pusara hanya diam menyandarkan pinggangnya
pada sebuah meja serta tetap menggenggam gelasnya. Pandangannya menguar jauh ke
arah jendela yang terbuka. Sinar mentari yang terik seketika ikut redup
menyaksikan dirinya yang sedang bergelimang risau. Ada yang harus ia
selesaikan. Beberapa macam koran harian yang sengaja ia kumpulkan di dalam
lacinya sudah kepalang menumpuk. Berbagai macam berita menyudut sepi di sana.
Seluruhnya tentang keresahan sosial negeri ini. Kemiskinan merajalela, kasus
korupsi para pejabat negeri, hingga melonjaknya angka kriminalitas. Hatinya
terus bergeming, memilah-milah kalimat yang bisa ia jadikan senjata untuk
melaporkan hal ini kepada atasannya. Tak habis ia merenungkan apa yang harus ia
ucapkan pada saat pelaporan nanti, tiba-tiba ponselnya bordering. Sebuah pesan
singkat bertuliskan Rana bertengger pada layar depan ponselnya.
“Sudah
hampir mulai.”
Ia bergegas. Merapikan terlebih dahulu kemejanya pada sebuah
cermin yang terpasang pada pintu ruang kerjanya kemudian menenteng sebuah
konglomerasi dari berita-berita negeri ini untuk ia gunakan sebagai bahan pada
rapat pelaporan.
***
Dengan
beberapa kali menelan ludah, Pusara membuka ruangan rapat itu dengan raut wajah
yang gelisah. Di ruangan itu, seluruh peserta rapat sudah berkumpul. Mereka
ialah masing-masing kepala bagian dari setiap sub-distrik. Wajahnya yang siaga
membuat Pusara semakin khawatir. Jangan-jangan sehabis ini ia akan habis dan
kemudian diberhentikan secara terpaksa, sebab ia tak mampu memenuhi tugasnya
untuk merancang strategi untuk menyelesaikan permasalahan sosial negeri ini.
Namun, di sana ia melihat sebuah kupu-kupu putih berterbangan di atas kepala
para peserta. Di sana pulalah, Pusara melihat Rana duduk dan memperhatikannya.
Seorang yang dapat mendamaikan hatinya.
Ranaya, untung masih ada kamu, dalam hatinya berbisik.
“Saudara
Wanta, cepat masuk! Kami sudah menunggu kehadiran Anda sedari tadi.” Ucap
seseorang yang akan memandu jalannya rapat ini. Pak Soerjana, seorang Kepala
Departemen Strategi Negara yang membawahi seluruh kepala bagian sub-distrik
termasuk Pusara Wanta. Perawakannya tinggi besar, rambutnya tebal dan keriting
menjuntai.
“Baik, Bos!”
Ucap Pusara sembari mengambil kursi tepat di hadapan Soerjana.
“Saudara-saudara,
akhirnya tim ini sudah komplit juga. Maaf sudah memajukan jadwal pelaporan ini.
Tadi pagi, saya ditelepon oleh pemerintah pusat untuk terus mendesak Anda
supaya lebih cepat menemukan cara bagaimana menyeselaikan permasalahan ini.
Kita akan membuka rapat ini dengan pidato dari Bung Wanta mungkin.” Ucap
Soerjana seraya melirik kea rah Pusara yang sedari tadi asyik
menyingkap-nyingkap kertas yang ia bawa. Pusara tetap saja tidak menghiraukan
perkataan Soerjana, hingga akhirnya teman sebelahnya, Jan Waras, menyenggol
bahunya. Ia tercenung dan kemudian diam, kalimatnya terbata-bata. Melihatnya
demikian, seluruh peserta kemudian mulai berbisik-bisik. Begitupun dengan
Ranaya, ia tersenyum geli.
“Bagaimana
Bung Wanta?” Ucap Soerjana lagi.
“Ya, ya,
Pak! Anu! Selamat siang saudara sekalian, pertama anu.. Saya akan menjelaskan
eh maksud saya memaparkan beberapa kasus yang sudah saya teliti dari beberapa
pers terkemuka di negeri ini. Salah satunya, melonjaknya angka kemiskinan di
negeri ini. Yang mana sudah menyanding pada angka 8,9 persen per Maret di tahun
ini. Sungguh angka yang luar biasa tinggi. Selain itu, juga kasus korupsi yang
melonjak hingga 482 per tahun ini.” Jelas Pusara dengan raut yang semwrawut.
“Ya, negeri
ini benar-benar kacau. Negeri kita juga kecolongan bea impor keluar oleh para
investor asing, Pak Soerja. Hal ini mengakibatkan negeri ini mengalami deifisit
hingga berapa persen dari tahun lalu.” Sahut Jan Waras.
Mendengarnya demikian Soerjana memilih untuk
duduk kemudian menupang dagu. Ada kegelisahan yang mendera. Seluruh ruangan
kantor ini penuh dengan kebiruan. Lesu dan legam. Dari sudut mata Rana, ruangan
ini dipenuhi oleh ruas-ruas benang transparan yang berwarna biru. Benang ini
seperti bergerak mengambang di udara, maju mundur, saling bertabrakan, kemudian
menyatu, kemudian terpisah lagi. Dalam rajutan benang-benang energi ini Rana
mencari darimana sumber paling kuatnya. Semakin mendekati kekuatannya, benang
ini akan semakin bertambah tebal. Di sana rupanya, kekasihnya, Pusara Wanta.
Rautnya benar-benar gelisah. Kemudian, Rana pun membuka suara.
“Mister
Soerja, boleh saya mengusulkan strategi?” Ucapnya dengan tangan mengangkat
plakat sedari tadi terduduk di atas mejanya.
“Dengan
senang hati, Mbak Ranaya.” Jawab Soerja lugas. Mendengarnya demikian Pusara
tercekat.
“Menurut
saya, sudah banyak strategi yang kita lakukan untuk mengatasi permasalahan ini.
Saya mengapresiasi rancangan strategi Bung Wanta, ia sudah amat bekerja keras.”
“Nepotis,
mereka kan pacaran.” Ucap salah satu peserta ruangan saling berbisik.
“Bapak-bapak,
boleh saya melanjutkan? Negeri ini pernah mereformasikan dirinya dari eratnya
peran pemerintah pusat dari sikap ataupun totalitarian. Namun, hasilnya tetap
saja. Tidak ada gunanya.” Jelas Rana. Kalimatnya benar-benar lugas.
“Alamak, kau tak perlulah membahas yang
dulu-dulu! Bah, sudahlah langsung
saja pada usulannya.” Seorang peserta menyambar perhatian Soerjana.
“Bung Ucok,
Anda seharusnya mendengarkan dulu penjelasan Mbak Rana. Mari saling
menghormati! Ini diskusi untuk negeri bukan kepentingan sendiri, hilangkan
segala kepentingan politik dari masing-masing sub-distrik Anda sekalian. Mbak
Rana, silahkan lanjutkan!.” Terang Soerjana. Ia mengambil segelas air putih di
samping bahunya kemudian menyeruputnya.
“Terimakasih Msiter
Soerja. Setelah itu beberapa rancangan strategi negara sudah kita rubah, mulai
dari institusionalnya, hingga penerapannya pula. Namun, apa yang terjadi? Kita
semakin dikuasai oleh kapitalisme global, perusahaan-perusahaan besar
memonopoli kebijakan negara. Kita dipermainkan oleh kebijakan kita sendiri.
Saudara ingat tentang bagaimana Jaques Necker melihat bagaimana krisis keuangan
yang terjadi pada era sebelum Revolusi Perancis terjadi? Hal tersebut menyebabkan pertentangan sosial secara
internal. Ketidakmampuan kaum miskin membayar pajak yang tinggi jelas sekali
menimbulkan pertentangan. Menimbulkan juga pemberontakan. Lalu apa yang
dilakukan oleh Raja Louis XVI memanggil Etats-Généraux di tahun
1789. Bukankah Etats-Généraux terbagi atas tiga golongan yang
terbagi atas Pendeta sebagai Etat Pertama, Kaum Bangsawan sebagai Etat Kedua,
dan Rakyat Biasa sebagai Etat Ketiga. Kemudian ada yang mereka rumuskan sebelum
terjadinya revolusi itu.” Rana terus menjelaskan dengan apik, membuat semua
orang di ruangan itu berdecak kagum. Kecuali satu, Ahmad Sobari, seorang kepala
sub-distrik.
“Ranaya
Malini, perempuan yang cerdas dan berkompetensi tinggi. Hahahaha! Lucu sekali,
kamu lupa, Nduk, Gusti Allah sampun ngendika kamu harus nggendong anak. Ndak usah
sembarangan ngomong, lha wong kamu
sendiri yang bilang kalau kita sudah reformasi saja tetap tidak berhasil, kok. Piye meneh? Hahahaha.” Ucapnya dengan nada
yang meledek. Mendengarnya lagi, Soerjana mengambil sikap. Ia berdiri dan
sedikit memukul meja. Seluruh peserta kemudian terlonjak.
“Saya sudah bilang,
jangan campuri urusan ini dengan kepentingan ini dengan dogmatis apapun.
Apalagi agama. Lanjutkan Mbak Rana, silahkan!” Soerjana terus bersikap tegas
dalam hatinya. Namun dalam hatinya, ia menyebut Tuhannya. Betapa Tuhan jadikan
ini strategi yang Kau pilih, bisiknya.
“Masih ada satu yang
belum kita lakukan.” Ucap Rana datar.
“Apa itu Rana?” Kali ini
Pusara tergerak untuk membuka suara, ia mengerti betul ada satu ide kekasihnya
yang telah lama ia usulkan padanya. Yang terus menerus ia tolak.
“Kompromi.” Jawab Rana
lugas. Mendengarnya seluruh ruangan tertawa terbahak-bahak, begitupun dengan
Soerjana. Rana gusar, Pusara sudah pernah mengatakan hal ini. Ide ini cukup
lucu apabila dilemparkan ke forum.
“Dengan siapa, Mbak Rana?
Kita sudah melakukan kompromi bahkan setiap waktu.” Tanya Soerjana, sembari
merapikan kembali rambut keritingnya yang menjuntai.
“Dengan para malaikat.
Saya bisa melakukannya.” Jawaban Rana menjadi satu lelucon yang sangat lucu
bagi para peserta rapat, tertawa membuncah pada selasar ruangan rapat. Namun,
tidak dengan Pusara. Matanya membelalak, ia tak menyangka bahwa ide ini
benar-benar Rana usulkan.
“Saya serius. Saya bisa
melakukannya. Dengan ritual Yaje dipandu
dengan Shaman. Saya akan masuk pada
dimensi yang lain kemudian melakukan kompromi kepada para malaikat untuk
membantu kita menyelesaikan masalah ini.”
Perdebatan itu kembali terjadi
dengan hebatnya. Pro dan kontra terhadap usulan ide ini kemudian saling
bersahutan seperti kicau burung gereja dipagi hari.
“Baiklah, Mbak Rana.
Apabila hanya itu yang bisa kita lakukan, siapkan timnya! Kita akan danai
ritual ini.” Ucap Soerjana mengakhiri perdebatan dengan tegas. Beberapa di
antaranya tetap merasa kalah dalam persaingan ide namun seluruh koordinasi
berpusat pada Soerjana. Terpaksa mereka akan datang dengan menelan pahit ludah.
“Saya akan bentuk
sekarang timnya, Mister Soerja. Pusara, sebagai penjaga serta perancang
jalannya ritual. Di sini ada Mas Jan Waras yang mahir main gendang, kemudian
Mas Ucok yang hafal mantra-mantra pemanggil Roh Raja Portibi, ada Mas Ahmad
Sobari yang racikan jamunya enak sebagai konsumsi, Mister Soerjana yang
mendanai, serta saya yang akan melakukan ritual ini. Saya akan memanggil Shaman
langsung dari desa Kakek saya dari Borneo untuk memandu ritual ini. Kita akan
melakukannya lima hari lagi, usahakan bagi masing-masing bagian untuk
menyiapkan keperluannya masing-masing.” Jelas Rana. Entah mengapa semua orang
menyenyapkan suara mereka masing-masing, hingga tidak ada satupun yang
mengkritisi. Benang-benang itu perlahan berubah menjadi kehijauan. Sunyi dan
damai, terpapar jelas oleh pandangan Rana. Ada satu simpul tetap berwarna biru,
Kekasihnya. Makin tebal warnanya.
***
Selimut itu masih
menyingkap rapi di atas kasur. Namun, dua tubuh itu saling bersanding. Suasana
yang hening kemudian berangsur dingin. Hujan mulai gemerincik menandakan malam
semakin larut.
“Aku takut kehilangan
kamu, Rana.” Ucap Pusara, merapatkan diri pada tubuh kekasihnya itu.
“Tidak ada yang perlu
ditakutkan. Selagi aku bersama dengan kamu, semuanya akan baik-baik saja.” Rana
memutarkan tubuhnya menghadap Pusara, mereka saling berpandang. Sinar matanya
hangat. Betapa damai.
“Romantisme a la jaman
milenial. Pengaruh globalisasi sampai ke urusan ranjang nih? Hahaha.” Jawab
Pusara dengan canda.
Semakin dekat, mereka
mengakhiri dengan tarikan selimut dan saling menutup mata. Tuhan, jagalah Rana,
dalam hati Pusara bergeming.
***
Seorang dengan rambut
gimbal telah bersiap untuk menabuh gendangnya, di sebelahnya terdapat sebuah
cawan berisi air berwarna hijau lumur yang keruh. Seorang itu bernama Tuan Hamen,
seorang Shaman tua dari pedalaman Borneo.
“Dalam dimensi yang lain,
malaikat hanya akan memperlihatkan diri apabila kau memiliki kegigihan yang
penuh. Di sana, kau akan melihat sebuah ular naga besar. Jangan takut itulah
ibu pertiwi.” Ucap Hamen membuat pahit ludah yang ditelan oleh Rana. Di ruangan
aula itu, tim yang sudah dirancang melingkar dengan harap-harap cemas.
Gendang-gendang itu mulai
ditabuh seiring dengan tiap tegukan cairan itu oleh Rana. Semakin bertalu-talu,
semakin dalam dan semakin dalam. Sayup-sayup, kelopak mata Rana mulai tak
sinkron. Seluruh ruangan kemudian mulai membayang dan bergerak. Ruangan kedap
suara itu berubah menjadi beraneka pepohonan yang hijau. Setiap pohon itu
bergerak seakan bernafas, memompa bagian batangnya kemudian merambat pada
dedaunannya. Di sela-sela itu, Rana merasakan mual yang teramat sangat. Ada
lonjakan dari perutnya yang harus ia keluarkan. Dalam lonjakan yang pertama, ia
sepenuhnya ada di hutan.
Hutan ini aneh sekali.
Setiap ruas daun memiliki simbol yang asing. Mereka juga bergerak seperti
terhempas angin yang kuat. Rerumputan terus menari-nari seperti hidup dan
menyedot unsur hara tanah yang sedang Rana injak. Seluruhnya saling mengisi dan
saling mengaitkan diri.
“Sinkronitas alam
semesta.” Ucap Rana dalam hati. Ia terus berjalan menyusuri anak-anak rumput
yang sangat empuk dan lembut itu. Di depannya kemudian terlihat ada semak yang
sangat besar dan terus berdenyut-denyut. Rana tak habis pikir, di hutan ini
tidak ada komunikasi verbal. Yang ia rasakan hanya saling mengerti, saling
mengisi, dan saling membantu. Simbolisasi kasih dalam dunia manusia ternyata
ada di sini. Apa benar ini dimensi yang kedua? Betapa indahnya keterkaitan yang
ada di sini, Rana dapat mengerti apa yang dikatakan oleh semak-semak ini. Semak
itu seperti memberikan pesan bahwa sebentar lagi ia akan menghadapi bahaya.
Mengetahui hal tersebut, Rana mundur selangkah. Ia kemudian beringsut takut.
Dalam ketakutannya ia melihat sebuah pohon kelapa yang sangat besar menjulang
di hadapannya. Semakin Rana lihat sisi batangnya maka semakin tinggi pohon
kelapa itu terlihat. Kemudian pohon itu berdenyut, dan batangnya bergerak
melingkar. Perlahan-lahan batang itu berubah menjadi bersisik dan berubah
menjadi ular yang sangat besar. Pada puncaknya daun pohon kelapa itu berubah
menjadi sebuah rambut yang sangat indah. Kemudian berputar dan mendekati Rana.
Rana tercekat dan berusaha untuk berlari namun ia tak dapat bergerak. Kakinya
seperti terjebak oleh sulur-sulur panjang yang ada di antara rerumputan itu.
Semakin mendekat, ular itu berubah menjadi seorang perempuan dengan tubuh ular
yang sangat besar. Perempuan itu sangat manis senyumnya. Kemudian ia berbicara.
“Selamat datang Malini,
cantik sekali kau seperti apa yang dikatakan oleh Arai.” Ucapannya sangat
tenang. Melihatnya demikian Rana tersenyum.
“Kau adalah Putri Ular
yang ada dalam cerita kakek dari legenda pedalaman Borneo? Kau mengenal
kakekku?” Rana tersenyum lagi, ia sangat berbahagia akhirnya mengenal bahasa
dan dapat berbicara lagi.
“Ya, Arai sangat
mencintaimu. Aku tahu itu. Di mana ia?” Tanya Putri Ular dengan lugu. Rambutnya
terberai indah, kepalanya penuh dengan bebungaan, aromanya floral.
“Kakek sudah meninggal.
Aku kemari untuk bertemu malaikat, aku ingin menyelesaikan segala persoalan di
negeriku. Di mana aku bisa menemui para malaikat itu Putri?” Ucap Rana.
“Ya, aku sudah tahu.
Manusia seringkali lupa dengan dirinya sendiri. Tidak mendekatkan dirinya
dengan penciptanya, menghormati serta tulus dalam segala hal. Para malaikat itu
ada di sebuah tempat yang dekat denganmu.” Putri Ular itu tersenyum kemudian
memutar kepalanya dan berangsur pergi.
“Di mana Putri?” Rana
berteriak memanggilnya. Namun, Putri tetap pergi. Setelah itu, ia menolehkan
kepalanya sekali lagi ke arah Rana kemudian terus berjalan pergi. Rana
tersenyum. Sinkronitas, dalam hatinya bergeming. Ada sesuatu yang harus ia
dapatkan di sini untuk membantu negerinya. Tentu berhubungan dengan sinkronitas
dan para malaikat itu. Benang-benang yang selalu ia lihat membentuk
simpul-simpul yang berbeda di alam manusia ternyata juga ada di sini. Hutan ini
menjadi sangat penuh dengan benang-benang berwarna-warni itu. Sinkronitas, Rana
berpusat pada satu kata yang ia dapatkan dari Putri Ular itu. Sekilas ia
melihat simpul benang yang belum pernah ia lihat, berwarna keemasan. Ia menyusuri
di mana pusat simpul ini, semakin berjalan warnanya semakin kuat. Dari sisi
sudut hutan, tempat itu berubah menjadi studio foto berwarna putih karena sinar
cahaya yang memenuhi seluruh hutan. Lalu Rana melihat gumpalan-gumpalan energy
itu berjalan mondar-manis secepat kilat.
“Di sini rupanya..”
Ucapnya dalam hati.
“Seberapa pun usaha
kalian untuk mengelabui kami supaya membantu kalian, Wahai Manusia. Kami tak
akan membantu. Apa yang sudah dimulai harus segera diselesaikan! Bisa-bisanya
kalian yang membuat permasalahan namun kami yang harus membereskannya! Tugas
kami adalah menjaga alam semesta beserta segala yang diperintahkan oleh Sang
Hyang Penciptanya. Kami sudah menugaskan satu di antara kami bagi setiap
manusia untuk menjaganya.” Energi itu kian redup, tanda akan segera pergi.
“Tolong kami!” Teriak
Rana setengah terisak.
“Dalam diri kalian bahkan
sudah ada kami! Pergilah atau kau akan mati kehabisan energy, pusara energi di
sini sangat kuat. Kami akan redup sebentar lagi”
“Tapi di mana gerangan
salah satu di antara kalian yang berada bersama kami?” Ucap Rana lagi, ia
kemudian bersimpuh dan menangis.
“Kesadaran dan pada hati
yang suci.” Ucap gumpalan itu lirih. Kemudian pandangan Rana berputar-putar.
Lonjakan dalam perutnya itu kembali terasa, bahkan berkali-kali lipatnya.
Rana membuka mata, di
depannya Pusara tengah menatapnya dalam-dalam.
“Bilang mau balik ruangan
aku kira mau siap-siap, ternyata malah tidur. Ayo bangun! Rapat pelaporan sudah
mau dimulai.” Masih terasa jelas tangan hangat Pusara yang membelai rambutnya
ketika ia terbangun dari mimpinya.
“Tidur siang bolong
begini, mimpi apa?” Tanya Pusara dengan wajah yang usil. Mendengarnya demikian
Rana bangkit dari kursinya, menenteng konglomerasi berita permasalahan negeri
dan bergegas ke ruangan rapat. Tepat di depan pintu ia bercermin, masih jelas
teringat wajah Putri Ular itu. Rana tersenyum dan membuka pintu itu, di sana
telah berjajar seluruh peserta rapat, tak luput juga kekasihnya, Pusara. Di
udara, melayang-layang benang berwarna-warni. Ada biru, ungu, merah, dan hijau.
Setiap warnanya memiliki simpul yang unik. Dari beraneka warna yang Rana lihat,
ia melihat warna yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Keemasan. Ia tahu betul
warna itu, Kekasihnya, Pusara.
Sinkronitas alam semesta,
Buana Raya, ucapnya lirih di antara riuh peserta rapat.
DN