Langsung ke konten utama

Yaje Buana





Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya.
“Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya.
“Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pada sang perempuan. Tampak jelas betapa warna auranya membiru keunguan. Menyandingkan antara kegelisahan dan rasa cinta yang membayang pada luar kemejanya.
“Benar! Semua yang aku rumuskan benar-benar sia-sia. Seperti menanam kaktus pada tanah yang gembur. Aku tak mengerti lagi.” Ia meletakan gelas itu pada sebuah meja yang tak jauh pada tempatnya berdiri. Di depannya, perempuan itu sungguh menawan. Senyumnya yang mendamiakan, bibirnya yang tipis merona, pipinya yang sintal, serta hidung yang tajam dan lurus. Belum lagi tubuhnya yang dibalut oleh sebuah gaun putih bersih dengan rambut yang bergerai.
“Kau harus tahu, bahwa  setiap permasalahan yang ada di negeri ini pasti bisa diselesaikan. Seperti yang kau jelaskan tentang teori deterministik, Pusara. Apa kau tak mengingat?” Tangannya menyambut tulang pipi Pusara dengan lembut. Hangat dan sungguh mendamaikan. Kian tubuhnya merapat. Kemudian dua kecupan tipis pada pipi kirinya membuat Pusara melangkah mundur. Ia mengambil gelasnya lagi dan kemudian melenggang pergi.
“Ini kantor, Ranaya. Tidak di sini.”Ia tercekat, telapak tangan yang hangat itu harus ia tanggalkan dengan cepat sebelum ada yang melihat kedekatan keduanya. Ranaya terkekeh melihat kekasihnya yang bertambah gelisah. Ada cahaya yang redup di sana.
“Baiklah, aku akan kembali ke ruanganku.” Ucap Ranaya dengan senyum geli yang masih merasuk pada raut wajahnya, kemudian meloyor pergi.
Pusara hanya diam menyandarkan pinggangnya pada sebuah meja serta tetap menggenggam gelasnya. Pandangannya menguar jauh ke arah jendela yang terbuka. Sinar mentari yang terik seketika ikut redup menyaksikan dirinya yang sedang bergelimang risau. Ada yang harus ia selesaikan. Beberapa macam koran harian yang sengaja ia kumpulkan di dalam lacinya sudah kepalang menumpuk. Berbagai macam berita menyudut sepi di sana. Seluruhnya tentang keresahan sosial negeri ini. Kemiskinan merajalela, kasus korupsi para pejabat negeri, hingga melonjaknya angka kriminalitas. Hatinya terus bergeming, memilah-milah kalimat yang bisa ia jadikan senjata untuk melaporkan hal ini kepada atasannya. Tak habis ia merenungkan apa yang harus ia ucapkan pada saat pelaporan nanti, tiba-tiba ponselnya bordering. Sebuah pesan singkat bertuliskan Rana bertengger pada layar depan ponselnya.
            “Sudah hampir mulai.”
Ia bergegas. Merapikan terlebih dahulu kemejanya pada sebuah cermin yang terpasang pada pintu ruang kerjanya kemudian menenteng sebuah konglomerasi dari berita-berita negeri ini untuk ia gunakan sebagai bahan pada rapat pelaporan.
***
            Dengan beberapa kali menelan ludah, Pusara membuka ruangan rapat itu dengan raut wajah yang gelisah. Di ruangan itu, seluruh peserta rapat sudah berkumpul. Mereka ialah masing-masing kepala bagian dari setiap sub-distrik. Wajahnya yang siaga membuat Pusara semakin khawatir. Jangan-jangan sehabis ini ia akan habis dan kemudian diberhentikan secara terpaksa, sebab ia tak mampu memenuhi tugasnya untuk merancang strategi untuk menyelesaikan permasalahan sosial negeri ini. Namun, di sana ia melihat sebuah kupu-kupu putih berterbangan di atas kepala para peserta. Di sana pulalah, Pusara melihat Rana duduk dan memperhatikannya. Seorang yang dapat mendamaikan hatinya.
Ranaya, untung masih ada kamu, dalam hatinya berbisik.
            “Saudara Wanta, cepat masuk! Kami sudah menunggu kehadiran Anda sedari tadi.” Ucap seseorang yang akan memandu jalannya rapat ini. Pak Soerjana, seorang Kepala Departemen Strategi Negara yang membawahi seluruh kepala bagian sub-distrik termasuk Pusara Wanta. Perawakannya tinggi besar, rambutnya tebal dan keriting menjuntai.
            “Baik, Bos!” Ucap Pusara sembari mengambil kursi tepat di hadapan Soerjana.
            “Saudara-saudara, akhirnya tim ini sudah komplit juga. Maaf sudah memajukan jadwal pelaporan ini. Tadi pagi, saya ditelepon oleh pemerintah pusat untuk terus mendesak Anda supaya lebih cepat menemukan cara bagaimana menyeselaikan permasalahan ini. Kita akan membuka rapat ini dengan pidato dari Bung Wanta mungkin.” Ucap Soerjana seraya melirik kea rah Pusara yang sedari tadi asyik menyingkap-nyingkap kertas yang ia bawa. Pusara tetap saja tidak menghiraukan perkataan Soerjana, hingga akhirnya teman sebelahnya, Jan Waras, menyenggol bahunya. Ia tercenung dan kemudian diam, kalimatnya terbata-bata. Melihatnya demikian, seluruh peserta kemudian mulai berbisik-bisik. Begitupun dengan Ranaya, ia tersenyum geli.
            “Bagaimana Bung Wanta?” Ucap Soerjana lagi.
            “Ya, ya, Pak! Anu! Selamat siang saudara sekalian, pertama anu.. Saya akan menjelaskan eh maksud saya memaparkan beberapa kasus yang sudah saya teliti dari beberapa pers terkemuka di negeri ini. Salah satunya, melonjaknya angka kemiskinan di negeri ini. Yang mana sudah menyanding pada angka 8,9 persen per Maret di tahun ini. Sungguh angka yang luar biasa tinggi. Selain itu, juga kasus korupsi yang melonjak hingga 482 per tahun ini.” Jelas Pusara dengan raut yang semwrawut.
            “Ya, negeri ini benar-benar kacau. Negeri kita juga kecolongan bea impor keluar oleh para investor asing, Pak Soerja. Hal ini mengakibatkan negeri ini mengalami deifisit hingga berapa persen dari tahun lalu.” Sahut Jan Waras.
             Mendengarnya demikian Soerjana memilih untuk duduk kemudian menupang dagu. Ada kegelisahan yang mendera. Seluruh ruangan kantor ini penuh dengan kebiruan. Lesu dan legam. Dari sudut mata Rana, ruangan ini dipenuhi oleh ruas-ruas benang transparan yang berwarna biru. Benang ini seperti bergerak mengambang di udara, maju mundur, saling bertabrakan, kemudian menyatu, kemudian terpisah lagi. Dalam rajutan benang-benang energi ini Rana mencari darimana sumber paling kuatnya. Semakin mendekati kekuatannya, benang ini akan semakin bertambah tebal. Di sana rupanya, kekasihnya, Pusara Wanta. Rautnya benar-benar gelisah. Kemudian, Rana pun membuka suara.
            “Mister Soerja, boleh saya mengusulkan strategi?” Ucapnya dengan tangan mengangkat plakat sedari tadi terduduk di atas mejanya.
            “Dengan senang hati, Mbak Ranaya.” Jawab Soerja lugas. Mendengarnya demikian Pusara tercekat.
            “Menurut saya, sudah banyak strategi yang kita lakukan untuk mengatasi permasalahan ini. Saya mengapresiasi rancangan strategi Bung Wanta, ia sudah amat bekerja keras.”
            “Nepotis, mereka kan pacaran.” Ucap salah satu peserta ruangan saling berbisik.
            “Bapak-bapak, boleh saya melanjutkan? Negeri ini pernah mereformasikan dirinya dari eratnya peran pemerintah pusat dari sikap ataupun totalitarian. Namun, hasilnya tetap saja. Tidak ada gunanya.” Jelas Rana. Kalimatnya benar-benar lugas.
            Alamak, kau tak perlulah membahas yang dulu-dulu! Bah, sudahlah langsung saja pada usulannya.” Seorang peserta menyambar perhatian Soerjana.
            “Bung Ucok, Anda seharusnya mendengarkan dulu penjelasan Mbak Rana. Mari saling menghormati! Ini diskusi untuk negeri bukan kepentingan sendiri, hilangkan segala kepentingan politik dari masing-masing sub-distrik Anda sekalian. Mbak Rana, silahkan lanjutkan!.” Terang Soerjana. Ia mengambil segelas air putih di samping bahunya kemudian menyeruputnya.
            “Terimakasih Msiter Soerja. Setelah itu beberapa rancangan strategi negara sudah kita rubah, mulai dari institusionalnya, hingga penerapannya pula. Namun, apa yang terjadi? Kita semakin dikuasai oleh kapitalisme global, perusahaan-perusahaan besar memonopoli kebijakan negara. Kita dipermainkan oleh kebijakan kita sendiri. Saudara ingat tentang bagaimana Jaques Necker melihat bagaimana krisis keuangan yang terjadi pada era sebelum Revolusi Perancis terjadi? Hal tersebut menyebabkan pertentangan sosial secara internal. Ketidakmampuan kaum miskin membayar pajak yang tinggi jelas sekali menimbulkan pertentangan. Menimbulkan juga pemberontakan. Lalu apa yang dilakukan oleh Raja Louis XVI memanggil Etats-Généraux di tahun 1789. Bukankah Etats-Généraux terbagi atas tiga golongan yang terbagi atas Pendeta sebagai Etat Pertama, Kaum Bangsawan sebagai Etat Kedua, dan Rakyat Biasa sebagai Etat Ketiga. Kemudian ada yang mereka rumuskan sebelum terjadinya revolusi itu.” Rana terus menjelaskan dengan apik, membuat semua orang di ruangan itu berdecak kagum. Kecuali satu, Ahmad Sobari, seorang kepala sub-distrik.
            “Ranaya Malini, perempuan yang cerdas dan berkompetensi tinggi. Hahahaha! Lucu sekali, kamu lupa, Nduk, Gusti Allah sampun ngendika kamu harus nggendong anak. Ndak usah sembarangan ngomong, lha wong kamu sendiri yang bilang kalau kita sudah reformasi saja tetap tidak berhasil, kok. Piye meneh? Hahahaha.” Ucapnya dengan nada yang meledek. Mendengarnya lagi, Soerjana mengambil sikap. Ia berdiri dan sedikit memukul meja. Seluruh peserta kemudian terlonjak.
“Saya sudah bilang, jangan campuri urusan ini dengan kepentingan ini dengan dogmatis apapun. Apalagi agama. Lanjutkan Mbak Rana, silahkan!” Soerjana terus bersikap tegas dalam hatinya. Namun dalam hatinya, ia menyebut Tuhannya. Betapa Tuhan jadikan ini strategi yang Kau pilih, bisiknya.
“Masih ada satu yang belum kita lakukan.” Ucap Rana datar.
“Apa itu Rana?” Kali ini Pusara tergerak untuk membuka suara, ia mengerti betul ada satu ide kekasihnya yang telah lama ia usulkan padanya. Yang terus menerus ia tolak.
“Kompromi.” Jawab Rana lugas. Mendengarnya seluruh ruangan tertawa terbahak-bahak, begitupun dengan Soerjana. Rana gusar, Pusara sudah pernah mengatakan hal ini. Ide ini cukup lucu apabila dilemparkan ke forum.
“Dengan siapa, Mbak Rana? Kita sudah melakukan kompromi bahkan setiap waktu.” Tanya Soerjana, sembari merapikan kembali rambut keritingnya yang menjuntai.
“Dengan para malaikat. Saya bisa melakukannya.” Jawaban Rana menjadi satu lelucon yang sangat lucu bagi para peserta rapat, tertawa membuncah pada selasar ruangan rapat. Namun, tidak dengan Pusara. Matanya membelalak, ia tak menyangka bahwa ide ini benar-benar Rana usulkan.
“Saya serius. Saya bisa melakukannya. Dengan ritual Yaje dipandu dengan Shaman. Saya akan masuk pada dimensi yang lain kemudian melakukan kompromi kepada para malaikat untuk membantu kita menyelesaikan masalah ini.”
Perdebatan itu kembali terjadi dengan hebatnya. Pro dan kontra terhadap usulan ide ini kemudian saling bersahutan seperti kicau burung gereja dipagi hari.
“Baiklah, Mbak Rana. Apabila hanya itu yang bisa kita lakukan, siapkan timnya! Kita akan danai ritual ini.” Ucap Soerjana mengakhiri perdebatan dengan tegas. Beberapa di antaranya tetap merasa kalah dalam persaingan ide namun seluruh koordinasi berpusat pada Soerjana. Terpaksa mereka akan datang dengan menelan pahit ludah.
“Saya akan bentuk sekarang timnya, Mister Soerja. Pusara, sebagai penjaga serta perancang jalannya ritual. Di sini ada Mas Jan Waras yang mahir main gendang, kemudian Mas Ucok yang hafal mantra-mantra pemanggil Roh Raja Portibi, ada Mas Ahmad Sobari yang racikan jamunya enak sebagai konsumsi, Mister Soerjana yang mendanai, serta saya yang akan melakukan ritual ini. Saya akan memanggil Shaman langsung dari desa Kakek saya dari Borneo untuk memandu ritual ini. Kita akan melakukannya lima hari lagi, usahakan bagi masing-masing bagian untuk menyiapkan keperluannya masing-masing.” Jelas Rana. Entah mengapa semua orang menyenyapkan suara mereka masing-masing, hingga tidak ada satupun yang mengkritisi. Benang-benang itu perlahan berubah menjadi kehijauan. Sunyi dan damai, terpapar jelas oleh pandangan Rana. Ada satu simpul tetap berwarna biru, Kekasihnya. Makin tebal warnanya.
***
Selimut itu masih menyingkap rapi di atas kasur. Namun, dua tubuh itu saling bersanding. Suasana yang hening kemudian berangsur dingin. Hujan mulai gemerincik menandakan malam semakin larut.
“Aku takut kehilangan kamu, Rana.” Ucap Pusara, merapatkan diri pada tubuh kekasihnya itu.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan. Selagi aku bersama dengan kamu, semuanya akan baik-baik saja.” Rana memutarkan tubuhnya menghadap Pusara, mereka saling berpandang. Sinar matanya hangat. Betapa damai.
“Romantisme a la jaman milenial. Pengaruh globalisasi sampai ke urusan ranjang nih? Hahaha.” Jawab Pusara dengan canda.
Semakin dekat, mereka mengakhiri dengan tarikan selimut dan saling menutup mata. Tuhan, jagalah Rana, dalam hati Pusara bergeming.
***
Seorang dengan rambut gimbal telah bersiap untuk menabuh gendangnya, di sebelahnya terdapat sebuah cawan berisi air berwarna hijau lumur yang keruh. Seorang itu bernama Tuan Hamen, seorang Shaman tua dari pedalaman Borneo.
“Dalam dimensi yang lain, malaikat hanya akan memperlihatkan diri apabila kau memiliki kegigihan yang penuh. Di sana, kau akan melihat sebuah ular naga besar. Jangan takut itulah ibu pertiwi.” Ucap Hamen membuat pahit ludah yang ditelan oleh Rana. Di ruangan aula itu, tim yang sudah dirancang melingkar dengan harap-harap cemas.
Gendang-gendang itu mulai ditabuh seiring dengan tiap tegukan cairan itu oleh Rana. Semakin bertalu-talu, semakin dalam dan semakin dalam. Sayup-sayup, kelopak mata Rana mulai tak sinkron. Seluruh ruangan kemudian mulai membayang dan bergerak. Ruangan kedap suara itu berubah menjadi beraneka pepohonan yang hijau. Setiap pohon itu bergerak seakan bernafas, memompa bagian batangnya kemudian merambat pada dedaunannya. Di sela-sela itu, Rana merasakan mual yang teramat sangat. Ada lonjakan dari perutnya yang harus ia keluarkan. Dalam lonjakan yang pertama, ia sepenuhnya ada di hutan.
Hutan ini aneh sekali. Setiap ruas daun memiliki simbol yang asing. Mereka juga bergerak seperti terhempas angin yang kuat. Rerumputan terus menari-nari seperti hidup dan menyedot unsur hara tanah yang sedang Rana injak. Seluruhnya saling mengisi dan saling mengaitkan diri.
“Sinkronitas alam semesta.” Ucap Rana dalam hati. Ia terus berjalan menyusuri anak-anak rumput yang sangat empuk dan lembut itu. Di depannya kemudian terlihat ada semak yang sangat besar dan terus berdenyut-denyut. Rana tak habis pikir, di hutan ini tidak ada komunikasi verbal. Yang ia rasakan hanya saling mengerti, saling mengisi, dan saling membantu. Simbolisasi kasih dalam dunia manusia ternyata ada di sini. Apa benar ini dimensi yang kedua? Betapa indahnya keterkaitan yang ada di sini, Rana dapat mengerti apa yang dikatakan oleh semak-semak ini. Semak itu seperti memberikan pesan bahwa sebentar lagi ia akan menghadapi bahaya. Mengetahui hal tersebut, Rana mundur selangkah. Ia kemudian beringsut takut. Dalam ketakutannya ia melihat sebuah pohon kelapa yang sangat besar menjulang di hadapannya. Semakin Rana lihat sisi batangnya maka semakin tinggi pohon kelapa itu terlihat. Kemudian pohon itu berdenyut, dan batangnya bergerak melingkar. Perlahan-lahan batang itu berubah menjadi bersisik dan berubah menjadi ular yang sangat besar. Pada puncaknya daun pohon kelapa itu berubah menjadi sebuah rambut yang sangat indah. Kemudian berputar dan mendekati Rana. Rana tercekat dan berusaha untuk berlari namun ia tak dapat bergerak. Kakinya seperti terjebak oleh sulur-sulur panjang yang ada di antara rerumputan itu. Semakin mendekat, ular itu berubah menjadi seorang perempuan dengan tubuh ular yang sangat besar. Perempuan itu sangat manis senyumnya. Kemudian ia berbicara.
“Selamat datang Malini, cantik sekali kau seperti apa yang dikatakan oleh Arai.” Ucapannya sangat tenang. Melihatnya demikian Rana tersenyum.
“Kau adalah Putri Ular yang ada dalam cerita kakek dari legenda pedalaman Borneo? Kau mengenal kakekku?” Rana tersenyum lagi, ia sangat berbahagia akhirnya mengenal bahasa dan dapat berbicara lagi.
“Ya, Arai sangat mencintaimu. Aku tahu itu. Di mana ia?” Tanya Putri Ular dengan lugu. Rambutnya terberai indah, kepalanya penuh dengan bebungaan, aromanya floral.
“Kakek sudah meninggal. Aku kemari untuk bertemu malaikat, aku ingin menyelesaikan segala persoalan di negeriku. Di mana aku bisa menemui para malaikat itu Putri?” Ucap Rana.
“Ya, aku sudah tahu. Manusia seringkali lupa dengan dirinya sendiri. Tidak mendekatkan dirinya dengan penciptanya, menghormati serta tulus dalam segala hal. Para malaikat itu ada di sebuah tempat yang dekat denganmu.” Putri Ular itu tersenyum kemudian memutar kepalanya dan berangsur pergi.
“Di mana Putri?” Rana berteriak memanggilnya. Namun, Putri tetap pergi. Setelah itu, ia menolehkan kepalanya sekali lagi ke arah Rana kemudian terus berjalan pergi. Rana tersenyum. Sinkronitas, dalam hatinya bergeming. Ada sesuatu yang harus ia dapatkan di sini untuk membantu negerinya. Tentu berhubungan dengan sinkronitas dan para malaikat itu. Benang-benang yang selalu ia lihat membentuk simpul-simpul yang berbeda di alam manusia ternyata juga ada di sini. Hutan ini menjadi sangat penuh dengan benang-benang berwarna-warni itu. Sinkronitas, Rana berpusat pada satu kata yang ia dapatkan dari Putri Ular itu. Sekilas ia melihat simpul benang yang belum pernah ia lihat, berwarna keemasan. Ia menyusuri di mana pusat simpul ini, semakin berjalan warnanya semakin kuat. Dari sisi sudut hutan, tempat itu berubah menjadi studio foto berwarna putih karena sinar cahaya yang memenuhi seluruh hutan. Lalu Rana melihat gumpalan-gumpalan energy itu berjalan mondar-manis secepat kilat.
“Di sini rupanya..” Ucapnya dalam hati.
“Seberapa pun usaha kalian untuk mengelabui kami supaya membantu kalian, Wahai Manusia. Kami tak akan membantu. Apa yang sudah dimulai harus segera diselesaikan! Bisa-bisanya kalian yang membuat permasalahan namun kami yang harus membereskannya! Tugas kami adalah menjaga alam semesta beserta segala yang diperintahkan oleh Sang Hyang Penciptanya. Kami sudah menugaskan satu di antara kami bagi setiap manusia untuk menjaganya.” Energi itu kian redup, tanda akan segera pergi.
“Tolong kami!” Teriak Rana setengah terisak.
“Dalam diri kalian bahkan sudah ada kami! Pergilah atau kau akan mati kehabisan energy, pusara energi di sini sangat kuat. Kami akan redup sebentar lagi”
“Tapi di mana gerangan salah satu di antara kalian yang berada bersama kami?” Ucap Rana lagi, ia kemudian bersimpuh dan menangis.
“Kesadaran dan pada hati yang suci.” Ucap gumpalan itu lirih. Kemudian pandangan Rana berputar-putar. Lonjakan dalam perutnya itu kembali terasa, bahkan berkali-kali lipatnya.

Rana membuka mata, di depannya Pusara tengah menatapnya dalam-dalam.
“Bilang mau balik ruangan aku kira mau siap-siap, ternyata malah tidur. Ayo bangun! Rapat pelaporan sudah mau dimulai.” Masih terasa jelas tangan hangat Pusara yang membelai rambutnya ketika ia terbangun dari mimpinya.
“Tidur siang bolong begini, mimpi apa?” Tanya Pusara dengan wajah yang usil. Mendengarnya demikian Rana bangkit dari kursinya, menenteng konglomerasi berita permasalahan negeri dan bergegas ke ruangan rapat. Tepat di depan pintu ia bercermin, masih jelas teringat wajah Putri Ular itu. Rana tersenyum dan membuka pintu itu, di sana telah berjajar seluruh peserta rapat, tak luput juga kekasihnya, Pusara. Di udara, melayang-layang benang berwarna-warni. Ada biru, ungu, merah, dan hijau. Setiap warnanya memiliki simpul yang unik. Dari beraneka warna yang Rana lihat, ia melihat warna yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Keemasan. Ia tahu betul warna itu, Kekasihnya, Pusara.

Sinkronitas alam semesta, Buana Raya, ucapnya lirih di antara riuh peserta rapat.

DN

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...