Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April 2, 2017

Monolog Orang Waras

Hahahaahahaahahaha! Ya..ya...ya! Tunggu sebentar!  Aku akan segera kesana! Tunggu saja barang sebentar! Kata orang-orang waras, aku ini gila. Tingkahku aneh-aneh. Aku berlari-larian bebas kemana saja yang aku mau. Bernyanyi-nyanyi sesuka hati. Apapun yang aku miliki ialah mutlak menjadi milikku.  Hahahahaha! Tunggu sebentar! Sebentar lagi! Sudah ku bilang sebentar lagi! Aku pasti akan kesana! Yayaya..orang-orang waras itu menertawaiku karena aku membuka semua bajuku tanpa menyisakan sehelai kain pun pada tubuhku. Padahal aku sangat kepanasan. Matahari di negri ini sungguh terik sekali. Mereka bilang aku gila, padahal pada kenyataanya mereka yang lebih gila. Tidak gila bagaimana? Lha wong ada rakyatnya yang memasung kakinya dengan semen tapi pemerintahnya melempar permasalahan domestikasi. Yayaya, mereka menyebutku gila. Karena aku tertawa dan menari di jalanan sembari membawa gitar tua dan plastik berisi nasi basi yang aku cari dari sampah. Aku tidak lagi memikirkan cicil...

SEUMPAMA KITA IALAH SEBUAH BUKU

Aku ialah kata-kata, Kau ialah kertasnya, serta Tuhan ialah penulisnya.  Kita melangkah pada setiap halaman demi halaman.  Tuhan menuliskan kisah yang indah. Hingga sampai pada akhir halaman, Tuhan berhenti menuliskan cerita kita.  Ia kemudian menuliskan kalimat terakhirnya. "Tak akan ada yang bisa melawan waktu, setidaknya kalian telah mencintai seberapa lama waktunya". Epitaf itu seakan-akan menyudutkanku. Sesungguhnya, cerita kita bermula pada kata-kata yang mencintai kertas usang. Lalu kuasa penulis mulai bercerita hari demi hari hingga halaman demi halaman.  Pada halaman paling akhir, hanya berisi satu garis titik-titik yang panjang.  Apa yang kau tuliskan pada halaman terakhir? "Air matamu, ku kumpulkan menjadi satu." Jawabnya lirih. —Dinie Wicaksani Purwokerto, 03 April 2017

Bayangan yang bersembunyi dari balik matamu

Seingatku, kau pernah berkata bahwa kehidupan ialah seperti pas foto keluarga,  kau dapat melihat kebahagiaan dan kesedihan terbingkai rapih. Dan saat itu juga, Aku mencintai caramu berpikir. Sepanjang jalanan ialah aspal terjal yang membosankan. namun, kau sebut ia rerumputan indah yang mendamaikan setiap kaki melangkah tanpa alas. Saat itu juga, A ku mencintai caramu menertawai hal-hal lucu. Dulu katamu, hal-hal lucu ialah awal dari keseriusan.  Saat kita berhadapan, senyummu menguar tiada sendu. Ada bayangan yang bukan diriku saat aku melihat matamu.  Pada saat itu juga, aku memilih pergi.. Purwokerto, 03 April 2017