Semak belukar mengapit dinding halamannya yang usang, samun seperti wajahnya. Ia berjalan dengan sangat tertatih, matanya terus memicing. Sesaat kemudian kakinya terus memapas jalanan bumi, tanpa alas. Kakinya terus menapaki kerikil terjal dan berbatu, belum lagi duri-duri yang siap menancap pada telapak kakinya. Namun, ia terus tersenyum. Tersenyum walau mungkin dalam tatih. Hutan kian membelukar, sinar matahari mulai menepis. Gelap kian terasa di mata. Sosoknya yang anggun terus berjalan demi sebuah keranjang berisi kayu-kayu yang kering, tuk kobarkan api di bawah tungkunya. Lehernya berpeluh, peluh itu membulir hingga menetes ke tanah. Setelah keranjang itu penuh, ia kembali memapas bumi dengan kaki telanjangnya. Berjalan lagi dan lagi menyusuri tanah batu yang terjal serta berduri. Ia terus menjinjing keranjang itu dengan sesekali membelai-belai rambutnya yang ikal tergurai. Warnanya cokelat gelap, seperti kopi robusta sidikalang yang belakangan ia tanam di sudut pekarangannya...
Hidup ini adalah goresan yang tak selesai.