Mentari terlalu pagi untuk menyinari. Sedangkan kau dan ibumu sudah siap untuk berjualan sayur di tepi jalan sebuah pasar subuh yang ramai. Kau menyunggi sayuranmu dengan susah payah, bagaimana dengan caramu yang berhati-hati agar mereka tak terjatuh dan terberai. Ibu mu menyusulmu dengan mendorong sebuah sepeda tua sepeninggal ayahmu, dengan membawa sebuah tas kecil berisi uang receh. Mata mu sibuk kau usapi berapa kali, rasa kantuk sepertinya belum mau pergi. sedangkan betapa kau ingat, di sisi lain teman-teman sebayamu masih terlelap tidur dengan selimut hangat yang menutupi seluruh tubuh mereka. Sedangkan kau harus pagi-pagi sekali mengantar ibumu berjualan sayur. Memang, kau rasa hidupmu tak adil. Kau menilai bahwa betapa lamanya kau belajar untuk mengenal Tuhanmu dengan memakfuzkan ayat-ayat di kitabmu. Namun, yang kau dapatkan betapa Tuhan tak mengetahuinya. Kau ini sungguh berani menyembunyikan rasa takutmu pada Tuhan. Hati-hati kau, Sulastri. Hidupmu sekeras pedal seped...
Hidup ini adalah goresan yang tak selesai.