Langsung ke konten utama

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

 Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja..

"Anjirlah dibego-in negara lagi!"

Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed.

Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi. 

Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan kekuasaan, maka orang cerdas akan berupaya menghentikan praktik kotor untuk menyelaraskan kekuasaan itu agar sejalan dengan tujuan-tujuan tertentu. Namun, jika kekuasaan itu dimiliki oleh orang bodoh maka mereka memiliki kecenderungan untuk tetap melakukan praktik kotor itu karena kepercayaan diri yang tinggi. 

Sebenarnya, ini bukan soal cerdas dan bodoh saja, sih. Gue yakin, di belakang meja pemerintahan juga pasti banyak orang-orang cerdas, intuitif, dan kritis. Mereka tentu akan melahirkan kebijakan-kebijakan serta berperilaku positif demi tujuan yang solutif dan efisien. Sayangnya, di negara ini menjadi orang cerdas saja tidak cukup. Ingat pemikiran Sigmund Freud tentang dorongan alam bawah sadar manusia untuk berperilaku dan mencontoh lingkungannya, atau teori Eric Ericson tentang manusia merupakan “pencari yang adaptif”

Jadi, bisa saja, seseorang yang secara naluriah datang ke pemerintahan untuk menciptakan solusi, memiliki kecerdasan di atas rata-rata, lambat laun akan berubah sesuai dengan perilaku lingkungannya. Lingkungan kerja yang sedari awal telah rusak, tamak akan kekuasaan, korup, dan nepotis, akan menjalar kepada siapa pun yang berada di dalamnya.

Gue juga jadi sangsi, bahwa sebenarnya kerusakan ini justru bersumber dari sistem yang telah berjalan. Bertahun-tahun. Berpuluh tahun. Seperti Sajak Anak Muda W.S Rendra, “kita ini angkatan gagap”, maka kegagapan ini akan terus bergulir (mungkin) sampai waktu yang lama. Gagap ketika mendapatkan kekuasaan, gagap ketika membuat kebijakan, bahkan gagap dalam merespons kritik sosial. Gue paham, kita yang membaca postingan ini juga akan kembali melanjutkan cara bertahan hidupnya masing-masing. Tapi, gue berharap, akan lebih banyak orang yang sadar, bahwa negara ini rusak bukan hanya karena oknun, tetapi juga sistem yang berjalan.

Postingan populer dari blog ini

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...