"Siapa yang bilang bahwa aku masih peduli? Usah berlagak seperti orang yang tak berkuasa, di balik topeng-topeng penderitaan rakyat yang kau resapi ternyata banyak api yang kau tutupi."
Ucapnya dengan lantang dan gagah berani. Kernyit alisnya mendadak melonggar. Bibir itu tersenyum dengan lihai. Sedikit meringis. Namun, tak nampak giginya. Ia berjalan pelan menuju pintu yang terbuka itu, sesaat terdengar suara ujung kayu yang terbanting. Tangannya masih menggenggam setelah gagang pintu itu ia hempaskan begitu saja. Raut wajahnya mendadak hitam, pitam yang diredam tak nyana tersulut jua. Lelaki itu kemudian berdiri dan berlari ke arah sudut ruangan. Suara demi suara seakan mulai mneghantui telinganya.
"Ming, jangan asal bicara!"
Ucapnya perlahanp-lahan. Namun, semakin lama suara itu semakin keras. Merasuki dan berputar-putar di dalam kepala lelaki itu.
"Jangan asal bicara, bangsat!"
"Jangan asal bicara, setan!"
Sesaat kemudian, lelaki itu mulai menangis dan meraung. Terisak dalam sudut kamarnya yang tertutup. Seluruh benda-benda mewah tak jadi apa, mereka hanya bisa mematung menyaksikan tuannya dikejari rasa bersalahnya sendiri. Dalam sudut kepala yang jauh, sepintas demi sepintas, memori lelaki itu sampai pada saat dengan gagahnya ia bersumpah jabatan. Di bawah kitab suci. "Aku bersumpah.." katanya dengan tubuh dan suara yang bergetar pelan. Usut punya usut, sumpah jabatan itu berkilah dan tak lagi jadi apa. Persis, seperti benda-benda dalam ruangan ini, mereka mematung menyaksikan lelaki itu bersenda gurau dengan ketakutan.
Tak lama berselang, sebuah dering telfon berbunyi.
"Ya, halo! Ada masalah apa?"
"Media sudah tahu, Pak. Surat izin tambang itu telah sampai ke tangan KPK. Mereka menyeret nama Bapak!"
Lelaki itu terpaku dan tercekat. Seperti benda-benda itu, ia ikut mematung.
"Ming, jangan asal bicara..." gemingnya dalam hati, lagi.