Di antara setapak demi setapak jalanku menuju pangkalan ojek. Jantungku bergelantungan, ia berderap tak pelan menggantung di kolong dada. Kalau seperti ini terus, jantungku bisa jatuh menggelinding, pikirku. Terik saling berjatuhan dari kolong langit, panas membelenggu kulit, cahaya matahari menyala terang. Aku berdiri menunggu ojek. Peluh berjatuhan seperti rintik tadi pagi, sedangkan siang berubah menjadi buih pada ombak yang melayur ke daratan. Menerjang rasa gemas dan letih setiap pekerja di pinggiran kota. Rok span hitam kusingkap tinggi, perlahan udara menerjang pahaku dengan sergap. Cukup sejuk. Kusapu seluruh pandangan di depan mata, bunga-bunga, mobil-mobil yang melaju, aspal yang bersih, pohon-pohon rindang, serta garis-garis kuning dalam aspal.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Dalam sengal nafas yang masih berderap, aku membaca namamu.
"Dini, maaf aku udah punya pacar. Kita masih bisa berteman kalau kamu nggak manggil sayang-sayang gitu". Ucapmu dari balik pesan itu.
Blurppp...
Tiba-tiba mataku gelap gulita. Ini kan siang, mana bisa matahari mati lampu? Sesuatu jatuh menggelinding dari balik kemejaku. Bulat dan kemudian pecah di aspal. Sial, jantungku.. Ku kepal dan cubit tangan ini, masih sakit. Benar, aku masih hidup. Ku rogoh sisi tengah dada, kosong. Ternyata hatiku yang pecah di aspal.