Kota selalu menjejalkan gue dengan carut marut jalanan yang macet. Desakan kendaraan yang saling memberi komunikasi penuh amarah. Kalau bukan klakson, sudah pasti teriaknya si supir yang sebal dan tidak sabar menghadapi macet. Namun bukan jalanan saja yang macet, kota juga menyuguhkan gue berbagai kemacetan lainnya. Seperti tagihan macet, misalnya.
Tapi ada satu hal menarik yang bisa gue temui dalam gaya hidup masyarakat kota-kota besar.
Ya, kehidupan virtual love, karena..
Setiap kali gue berbicara tentang cinta, pasti ada saja hal-hal yang gue ingat dan semuanya bikin sebal. Jantung gue seakan lebih berdesir dibanding biasanya, mata gue seperti membelalak.
‘Ya, pokoknya kesel deh!’.
Bagaimana tidak, di saat semua teman-teman seusia gue mulai asyik berduaan dan bercumbu dari balik Instastory mereka dengan pasangan sahnya. Mempertontonkan kemesraan mereka secara virtual. Ada yang update keuwuan dengan caption, ‘
Sayang, semalem semriwing kan, aku goyangnya muter-muter begitu?’.
Gue yang jomblo, sibuk mengatai,
‘Abis main gangsing Lo?’,
Atau ada juga yang berfoto manis ria dengan caption,
‘Difotoin suami yang abis gue omelin karena anglenya jelek’.
Huh! Mereka sebenarnya paham nggak sih, nggak ada yang peduli juga meski angle dia bagus. Namun, gue malah sibuk mengurusi perkuliahan. Kuliah dengan virtual, karena pandemi belum juga usai.
Kisah cinta gue yang usai.
Ups..
Tetapi, kota selalu bergegas dan tumbuh dengan cepat. Segala yang ada di dalamnya akan menderu, menyisakan sesuatu yang akan terus hidup di pelipis gue satu demi satu. Dari kota ke kota, dari satu tempat ke tempat lainnya. Sesuatu itu akan terus berjibaku menjadi momentum yang menyimpulkan senyum tipis di antara kedua bibir gue ketika kepala gue dengan tidak sengaja mengingatnya.
Seperti ketika Adik gue yang masih berusia tujuh tahun hilang di Mall of Indonesia, betapa paniknya gue sekeluarga mencarinya. Meski MOI memang besar banget dan gue akan merekomendasikan para Bule agar bawa peta saat masuk, kebodohan Adik gue juga memuncak ketika pas ketemu dia dengan entengnya bilang,
'Abisnya aku ngikutin Mbak-mbak gendut pake baju coklat, aku kira Mbak Dini tapi agak putihan'.
Sudah pasti kemarah gue ikut memuncak dong, untuk mall sebesar itu --yang bahkan cowok-cowok pun lebih memilih putus, ketimbang harus mencari ceweknya dalam waktu lima menit ketika sang cewek lagi ngambek-- bisa-bisanya dia hanya mengingat Kakaknya gendut dan item.
Dasar! Sangat bodypainting.