Langsung ke konten utama

Keping 1: Virtual



Kota selalu menjejalkan gue dengan carut marut jalanan yang macet. Desakan kendaraan yang saling memberi komunikasi penuh amarah. Kalau bukan klakson, sudah pasti teriaknya si supir yang sebal dan tidak sabar menghadapi macet. Namun bukan jalanan saja yang macet, kota juga menyuguhkan gue berbagai kemacetan lainnya. Seperti tagihan macet, misalnya.


Tapi ada satu hal menarik yang bisa gue temui dalam gaya hidup masyarakat kota-kota besar.


Ya, kehidupan virtual love, karena..


Setiap kali gue berbicara tentang cinta, pasti ada saja hal-hal yang gue ingat dan semuanya bikin sebal. Jantung gue seakan lebih berdesir dibanding biasanya, mata gue seperti membelalak.


 ‘Ya, pokoknya kesel deh!’. 

Bagaimana tidak, di saat semua teman-teman seusia gue mulai asyik berduaan dan bercumbu dari balik Instastory mereka dengan pasangan sahnya. Mempertontonkan kemesraan mereka secara virtual. Ada yang update keuwuan dengan caption,

Sayang, semalem semriwing kan, aku goyangnya muter-muter begitu?’.

Gue yang jomblo, sibuk mengatai,

‘Abis main gangsing Lo?’,

Atau ada juga yang berfoto manis ria dengan caption,

‘Difotoin suami yang abis gue omelin karena anglenya jelek’.


Huh! Mereka sebenarnya paham nggak sih, nggak ada yang peduli juga meski angle dia bagus.  Namun, gue malah sibuk mengurusi perkuliahan. Kuliah dengan virtual, karena pandemi belum juga usai. 

Kisah cinta gue yang usai.

Ups..


Tetapi, kota selalu bergegas dan tumbuh dengan cepat. Segala yang ada di dalamnya akan menderu, menyisakan sesuatu yang akan terus hidup di pelipis gue satu demi satu. Dari kota ke kota, dari satu tempat ke tempat lainnya. Sesuatu itu akan terus berjibaku menjadi momentum yang menyimpulkan senyum tipis di antara kedua bibir gue ketika kepala gue dengan tidak sengaja mengingatnya.

Seperti ketika Adik gue yang masih berusia tujuh tahun hilang di Mall of Indonesia, betapa paniknya gue sekeluarga mencarinya. Meski MOI memang besar banget dan gue akan merekomendasikan para Bule agar bawa peta saat masuk, kebodohan Adik gue juga memuncak ketika pas ketemu dia dengan entengnya bilang,

'Abisnya aku ngikutin Mbak-mbak gendut pake baju coklat, aku kira Mbak Dini tapi agak putihan'.

Sudah pasti kemarah gue ikut memuncak dong, untuk mall sebesar itu --yang bahkan cowok-cowok pun lebih memilih putus, ketimbang harus mencari ceweknya dalam waktu lima menit ketika sang cewek lagi ngambek-- bisa-bisanya dia hanya mengingat Kakaknya gendut dan item.

Dasar! Sangat bodypainting.




Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...