Suasana duka masih menggelayut di rumah Baran. Semua
orang seperti tengah menyiapkan tangisnya dengan sigap. Menunduk dan terus
merapal doa-doa. Ada satu lilin yang menyala tepat di hadapan peti itu. Tak
lupa sebuah salib yang berdiri di dekat bebungaan putih yang dipintal. Serta
isak tangis yang menyeru di udara. Di antara barisan pelayat yang duduk, Ruth
menunduk dengan diam. Ia tak lagi dapat membuka suaranya. Lagi dan lagi suara it
uterus berbisik di kepalanya.
Mengapa engkau pergi?
Mengapa sekarang?
Baran, tolong jawab aku!
Isak tangis itu kian menjadi. Selasar rumah itu
menjadi kian biru, ada lautan benang yang disangkutkan justru hendak membuatnya
terasa menyakitkan dan mengharukan.
“Baiklah,
Saudaraku! Mari kita renungkan dan doakan anak Bapa Kami Tony Albaran ini,
supaya tenang selalu Bersama Kasih-Nya.” Ucap Romo Sangkir membelah lautan isak
tangis para pengunjung. Di sampingnya, seorang perempuan ikut diam dan
merunduk. Tangannya terus mendekapkan satu sama lain. Sesaat kemudian sebuah
lagu dinyanyikan. Lagu itu terasa amat mendebarkan sekaligus menyayat hati.
Ialah lagu paling memuakkan bagi Ruth, sehancur apa lagi baginya kini melihat
orang yang ia banggakan terdiam dan kaku di dalam sebuah peti kematian. Isak
apalagi yang bisa ia rapal menjadi sebuah sosok yang begitu ia kagumkan untuk
kembali dalam pelukannya? Melewati berjuta tangis yang pecah, Ruth terus
merunduk. Lamunannya jauh mengembara.
“Apa
yang lu harapkan sih kuliah di sini?” bina mata itu tak mungkin dilupakan.
Sorot wajah yang mendamaikan serta tawa renyah yang sanggup membangkitkan
semangat. Kala itu, rautnya sanggup membuat hangat Ruth dari terpaan badai
salju Australia.
“Impian”
jawab Ruth dengan tenang. Matanya terus melambung tinggi. Menapaki tiap jengkal
langit yang berada di atas kedunaya, Baran dan Ruth terlihat amat bersemangat.
Ruth berdiri dan mengangkat kedua tangannya membentuk simbol kemudian
diacungkannya ke atas. Dari bawah, langit itu seperti membentuk pola yang
berbeda. Dalam binr mata Ruth, ia cukup piawai menampilkan sebuah cerita dari
satu kerlingan mata. Impian dan semangat.
“Impian
macam apa? Hahaha! Dasar pemimpi!” ucap Baran dengan kecut, ia kemudian berdiri
dan kemudian menyusul Ruth yang masih terus menarikan tangannya membentuk
sebuah simbol yang asing.
“Saat
itu, Baran, langit Adelaide sungguh indah! Hangat sorot wajahmu mampu mengusir
gigilku” benak Ruth terus menjelajahi sisa-sisa momentum dirinya dengan Baran
ketika keduanya menjalankan Pendidikan master di Australia. Dalam isak
tangisnya, Ruth terus menghafal kalimat-kalimat yang terucap dari Baran semasa
hidupnya. Seolah menjadi sebuah momen yang membahagiakan.
“Tapi
tidak seperti di sini. Kamu selalu bilang bahwa..”
“Ruth
Zahara, Si Pemimpi!” Baran menghampiri Ruth yang terus menyibakkan tangannya ke
atas langit. Satu persatu butiran salju mungkin masih dapat menghancurkan
imajinasi Ruth. Namun, bagi Baran tiada yang sanggup ia dapat ucapkan selain
syukur telah menemukan Ruth dengan segala mimpinya.
“Tidak
ada yang indah selalin langit yang memayungimu, Ruth. Di manapun kamu berpijak,
langit akan melindungimu. Bukan hanya aku.” Baran memeluk tubuh Ruth dengan
hangat. Rerimbun pohon di sudut North Terrace mungkin masih ikut tersenyum
melihat Baran dan Ruth siang itu. Di antara butiran salju yang terus menyentuh
bumi. Baran dan Ruth mengakhirinya dengan satu pagutan bibir yang panjang.
“Tidak
ada langit yang indah selain langit yang memayungiku, begitu ucapmu dulu!” suara
dalam kepala Ruth terus berlomba untuk menunjukkan dirinya. Rasa duka dalam
hatinya, membuatnya terus berdiam.
“Langitku
tidak akan indah lagi, Baran. Kamu tahu itu. Di sini, langit menghitam dan
legam. Butiran hujan atau salju sekalipun bukan lagi sebuah anugerah. Namun,
runtuhan kekesalan dan isak tangis yang dikirimkan Tuhan melalui pulangnya kami
kesisi-Nya. Di manapun tempat yang akan aku pijak setelah ini menjadi biasa
saja.” Isak Ruth kian menjadi. Kepungan suara dalam kepalanya seakan berteriak
dan tak berhenti. Sesaat kemudian, Romo Sangkir kembali berbicara.
“Mungkin
Ibu, hendak menyampaikan sepatah atau dua patah kata untuk anak kita Baran?”
ucap Romo Sangkir sembari mengacungkan sebuah micropon pada perempuan paruh
baya di sebelahnya itu.
“Anakku,
Tony Aldebaran, berdiri di sini bukanlah suatu perkara yang mudah. Melihatmu
menutup mata, seakan memblokade seluruh rasa bahagia yang diciptakan Tuhan
untuk Ibu. Sedari kecil, kamu selalu berkata bahwa kamu akan menjaga Ibu karena
Ayah telah meninggalkan kita. Sampai Ibu sadar bahwa engkau bahkan tidak pernah
menjaga dirimu sendiri. Dan kini, Nak, tangan Tuhan ialah gantinya. Seluruh
penjagaan yang telah kamu lakukan senantiasa dibalaskan langsung oleh Tuhan.
Pergilah, Nak.. Ibu ikhlas.” Perempuan itu menutup pidatonya dengan tangis yang
bahkan tidak lagi terdengar. Matanya terus memandangi peti putih yang dilapisi
oleh bebungaan itu. Tempat terakhir yang akan menyemayamkan anaknya ke tangan Tuhan.
“Satu
lagi.. “ Ucapnya datar, matanya kemudian memburu barisan pengunjung yang berada
di hadapannya. Satu persatu ia mencari.
“Ruth,
boleh aku minta kamu untuk memberikan kalimat terakhir untuk Baran?” perempuan
itu menunjuk Ruth. Mendengarnya, tatapan Ruth berubah. Ada tangis yang seraya
ingin menyeruak dengan hebat. Tangis yang memuncak. Dalam isaknya, ia berdiri
dan berjalan maju. Seluruh mata seraya menoleh ke arahnya, ruangan itu seperti
bertambah senyap. Hanya ada Ruth dan peti putih itu. Kian dekat. Ia memeluk
perempuan itu.
“Ibu,
Ruth hancur. Baran seharusnya tidak pergi” tangis itu pecah pada pundak Ibu
Nay.
“Baran
tidak pernah pergi. Ayo, sana mendekatlah pada calon suamimu!” ucap Ibu Nay
sembari memberikan microfon itu pada Ruth. Berpuluh mata memandanginya
sekarang, tampak dalam wajahnya kebingungan dan pedih yang mendalam. Seperti
bom yang meledak di tengah kota, tangisnya menjadi suara paling lirih yang
dipandangi para pelayat. Air matanya terus mengalir deras, isaknya terus
mengiringi nafasnya.
“Sayangku, melihatmu tertidur pulas ialah seperti menemukan ketenagan yang baru. Selalu dan setiap pagi, engkau bangunkan aku dengan kecupan paling hangat yang siap menghantarku pada hari-hari beratku. Entah mengapa, sekarang.. Melihatmu tertidur, seakan membuatku merasa dibakar dari dalam. Hancur tak berkeping. Engkau adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan ketika langitku gelap diwaktu siang. Engkau adalah prajurit yang selalu tanggap terhadap marabahaya. Aku sangat mencintaimu. Menjadi istrimu ialah impianku yang terakhir. Menemanimu dalam siang dan malam, serta membenarkan kembali kerah kemejamu yang terbalik, ialah kegiatan yang paling aku gemari, Namun,kini semuanya berbalik kan Sayang? Tuhan nyatanya lebih mencintaimu. Selamat jalan, Baran!” Ruth masih berdiri di samping peti putih itu. Air mata itu terus mengalir deras. Entah sudah berapa seka yang ia sempatkan untuk menghapus air mata itu.
Bersambung..