Langsung ke konten utama

Cerbung: Dark Explosion Part 2


Suasana duka masih menggelayut di rumah Baran. Semua orang seperti tengah menyiapkan tangisnya dengan sigap. Menunduk dan terus merapal doa-doa. Ada satu lilin yang menyala tepat di hadapan peti itu. Tak lupa sebuah salib yang berdiri di dekat bebungaan putih yang dipintal. Serta isak tangis yang menyeru di udara. Di antara barisan pelayat yang duduk, Ruth menunduk dengan diam. Ia tak lagi dapat membuka suaranya. Lagi dan lagi suara it uterus berbisik di kepalanya.

Mengapa engkau pergi?

Mengapa sekarang?

Baran, tolong jawab aku!

Isak tangis itu kian menjadi. Selasar rumah itu menjadi kian biru, ada lautan benang yang disangkutkan justru hendak membuatnya terasa menyakitkan dan mengharukan.

            “Baiklah, Saudaraku! Mari kita renungkan dan doakan anak Bapa Kami Tony Albaran ini, supaya tenang selalu Bersama Kasih-Nya.” Ucap Romo Sangkir membelah lautan isak tangis para pengunjung. Di sampingnya, seorang perempuan ikut diam dan merunduk. Tangannya terus mendekapkan satu sama lain. Sesaat kemudian sebuah lagu dinyanyikan. Lagu itu terasa amat mendebarkan sekaligus menyayat hati. Ialah lagu paling memuakkan bagi Ruth, sehancur apa lagi baginya kini melihat orang yang ia banggakan terdiam dan kaku di dalam sebuah peti kematian. Isak apalagi yang bisa ia rapal menjadi sebuah sosok yang begitu ia kagumkan untuk kembali dalam pelukannya? Melewati berjuta tangis yang pecah, Ruth terus merunduk. Lamunannya jauh mengembara.

            “Apa yang lu harapkan sih kuliah di sini?” bina mata itu tak mungkin dilupakan. Sorot wajah yang mendamaikan serta tawa renyah yang sanggup membangkitkan semangat. Kala itu, rautnya sanggup membuat hangat Ruth dari terpaan badai salju Australia.

            “Impian” jawab Ruth dengan tenang. Matanya terus melambung tinggi. Menapaki tiap jengkal langit yang berada di atas kedunaya, Baran dan Ruth terlihat amat bersemangat. Ruth berdiri dan mengangkat kedua tangannya membentuk simbol kemudian diacungkannya ke atas. Dari bawah, langit itu seperti membentuk pola yang berbeda. Dalam binr mata Ruth, ia cukup piawai menampilkan sebuah cerita dari satu kerlingan mata. Impian dan semangat.

            “Impian macam apa? Hahaha! Dasar pemimpi!” ucap Baran dengan kecut, ia kemudian berdiri dan kemudian menyusul Ruth yang masih terus menarikan tangannya membentuk sebuah simbol yang asing.

            “Saat itu, Baran, langit Adelaide sungguh indah! Hangat sorot wajahmu mampu mengusir gigilku” benak Ruth terus menjelajahi sisa-sisa momentum dirinya dengan Baran ketika keduanya menjalankan Pendidikan master di Australia. Dalam isak tangisnya, Ruth terus menghafal kalimat-kalimat yang terucap dari Baran semasa hidupnya. Seolah menjadi sebuah momen yang membahagiakan.

            “Tapi tidak seperti di sini. Kamu selalu bilang bahwa..”

            “Ruth Zahara, Si Pemimpi!” Baran menghampiri Ruth yang terus menyibakkan tangannya ke atas langit. Satu persatu butiran salju mungkin masih dapat menghancurkan imajinasi Ruth. Namun, bagi Baran tiada yang sanggup ia dapat ucapkan selain syukur telah menemukan Ruth dengan segala mimpinya.

            “Tidak ada yang indah selalin langit yang memayungimu, Ruth. Di manapun kamu berpijak, langit akan melindungimu. Bukan hanya aku.” Baran memeluk tubuh Ruth dengan hangat. Rerimbun pohon di sudut North Terrace mungkin masih ikut tersenyum melihat Baran dan Ruth siang itu. Di antara butiran salju yang terus menyentuh bumi. Baran dan Ruth mengakhirinya dengan satu pagutan bibir yang panjang.

            “Tidak ada langit yang indah selain langit yang memayungiku, begitu ucapmu dulu!” suara dalam kepala Ruth terus berlomba untuk menunjukkan dirinya. Rasa duka dalam hatinya, membuatnya terus berdiam.

            “Langitku tidak akan indah lagi, Baran. Kamu tahu itu. Di sini, langit menghitam dan legam. Butiran hujan atau salju sekalipun bukan lagi sebuah anugerah. Namun, runtuhan kekesalan dan isak tangis yang dikirimkan Tuhan melalui pulangnya kami kesisi-Nya. Di manapun tempat yang akan aku pijak setelah ini menjadi biasa saja.” Isak Ruth kian menjadi. Kepungan suara dalam kepalanya seakan berteriak dan tak berhenti. Sesaat kemudian, Romo Sangkir kembali berbicara.

            “Mungkin Ibu, hendak menyampaikan sepatah atau dua patah kata untuk anak kita Baran?” ucap Romo Sangkir sembari mengacungkan sebuah micropon pada perempuan paruh baya di sebelahnya itu.

            “Anakku, Tony Aldebaran, berdiri di sini bukanlah suatu perkara yang mudah. Melihatmu menutup mata, seakan memblokade seluruh rasa bahagia yang diciptakan Tuhan untuk Ibu. Sedari kecil, kamu selalu berkata bahwa kamu akan menjaga Ibu karena Ayah telah meninggalkan kita. Sampai Ibu sadar bahwa engkau bahkan tidak pernah menjaga dirimu sendiri. Dan kini, Nak, tangan Tuhan ialah gantinya. Seluruh penjagaan yang telah kamu lakukan senantiasa dibalaskan langsung oleh Tuhan. Pergilah, Nak.. Ibu ikhlas.” Perempuan itu menutup pidatonya dengan tangis yang bahkan tidak lagi terdengar. Matanya terus memandangi peti putih yang dilapisi oleh bebungaan itu. Tempat terakhir yang akan  menyemayamkan anaknya ke tangan Tuhan.

            “Satu lagi.. “ Ucapnya datar, matanya kemudian memburu barisan pengunjung yang berada di hadapannya. Satu persatu ia mencari.

            “Ruth, boleh aku minta kamu untuk memberikan kalimat terakhir untuk Baran?” perempuan itu menunjuk Ruth. Mendengarnya, tatapan Ruth berubah. Ada tangis yang seraya ingin menyeruak dengan hebat. Tangis yang memuncak. Dalam isaknya, ia berdiri dan berjalan maju. Seluruh mata seraya menoleh ke arahnya, ruangan itu seperti bertambah senyap. Hanya ada Ruth dan peti putih itu. Kian dekat. Ia memeluk perempuan itu.

            “Ibu, Ruth hancur. Baran seharusnya tidak pergi” tangis itu pecah pada pundak Ibu Nay.

            “Baran tidak pernah pergi. Ayo, sana mendekatlah pada calon suamimu!” ucap Ibu Nay sembari memberikan microfon itu pada Ruth. Berpuluh mata memandanginya sekarang, tampak dalam wajahnya kebingungan dan pedih yang mendalam. Seperti bom yang meledak di tengah kota, tangisnya menjadi suara paling lirih yang dipandangi para pelayat. Air matanya terus mengalir deras, isaknya terus mengiringi nafasnya.

            “Sayangku, melihatmu tertidur pulas ialah seperti menemukan ketenagan yang baru. Selalu dan setiap pagi, engkau bangunkan aku dengan kecupan paling hangat yang siap menghantarku pada hari-hari beratku. Entah mengapa, sekarang.. Melihatmu tertidur, seakan membuatku merasa dibakar dari dalam. Hancur tak berkeping. Engkau adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan ketika langitku gelap diwaktu siang. Engkau adalah prajurit yang selalu tanggap terhadap marabahaya. Aku sangat mencintaimu. Menjadi istrimu ialah impianku yang terakhir. Menemanimu dalam siang dan malam, serta membenarkan kembali kerah kemejamu yang terbalik, ialah kegiatan yang paling aku gemari, Namun,kini semuanya berbalik kan Sayang? Tuhan nyatanya lebih mencintaimu. Selamat jalan, Baran!” Ruth masih berdiri di samping peti putih itu. Air mata itu terus mengalir deras. Entah sudah berapa seka yang ia sempatkan untuk menghapus air mata itu.


Bersambung.. 

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...