Langsung ke konten utama

Menulis untuk Diri Sendiri Part. 1

Hm, sudah lama aku tidak menulis kepada diri sendiri. Setelah berjibaku dengan "words counts" pada klien yang kadangkala enggan bersahabat tutur bicaranya. Kemudian malam ini, barangkali akan menjadi gantinya. Sahut dan menyahut yang ada di kepala, kutumpahkan dalam tulisan ini. Lagipula blog ini juga sudah jarang dikunjungi oleh sesiapa. Wajar saja menjadi sepi.

Banyak hal yang terjadi dalam hidupku. Signifikansi mood dan perasaan yang mewarnai setiap puing peristiwa yang terjadi. Tidak terasa aku telah menyisihkan diri ke dalam diam yang terlalu panjang. Dua tahun lalu, misalnya. Aku divonis serangan panik. Gejala-gejala ini sebenarnya memuncak karena banyaknya problematika waktu itu. Mengalami kekecewaan yang teramat mendalam pada ibuku sendiri, dua minggu aku nangis terus. Menutup mulut. Kemudian menyendiri. Entahlah, selalu ada tangis yang kusembunyikan dari balik tawa bersama orang-orang sekitar. Sampai-sampai aku menyadari bahwa ada yang salah dengan diriku. Sakit kepala terus-terusan. Tubuh sering bergetar tanpa alasan. Gelisah dan keringat dingin. Nafas memburu. Dan, ya, gejala serangan panik, ucap dokter. Kemudian mulai malam itu, diazepam dan analsik selalu ada dalam "pouch" make up. Juga setoples kecil biji kopi sangrai untuk sedikit meredakan gejalanya. Pelan, aku merasa tidak boleh meminum obat terus-terusan. Maka healing terapi dimulai. Pada saat itu, aku merasa dimanipulasi oleh otakku sendiri. Bagian otak yang menghasilkan endorfin tidak berjalan dengan normal, maka aku harus membuatnya normal. Banyak literatur sudah habis ku baca. Meredakan serangan panik, bagiamana kemunculannya, faktor apa saja, dan seberapa level penderitanya. Saat itu, aku enggan berpikir yang tidak-tidak. Bisa saja aku self diagnosed dan kemudian menyebarkan self-healing ini ke Instagram. Namun, aku memilih untuk menutup rapat-rapat. 

Pelan namun pasti, gejala yang aku alami semakin mereda. Intensitasnya semakin menurun dibandingkan pada masa awal diagnosa. Ya, bagaimana tidak. Meditasi, rileksasi, olahraga, dan esensial oil ternyata cukup membantu. Fase sadness itu selesai.

Kemudian, lagi. Aku jatuh cinta. Hahahaha! Suatu hal yang sulit ditebak memang, karena aku cukup menutup rapat persoalan ini dengan dalih privasi. Namun waktu itu, aku merasa amat dicintai. Ia memaksaku untuk kembali berpikir logis karena waktu akan terus berjalan. Jauh dari rumah, harus bekerja, dan juga skripsi-an. Tentu amat menguras tenaga. Kemudian dengan datangnya dia, aku merasa memiliki rumah yang tepat bagi kesinggahan. Bagi seorang Dini yang selalu berusaha menjadi rumah bagi orang-orang, ternyata membutuhkan tempat bercerita dan berbagi pula. Dan aku merasakan hal itu, berbagi. Namun ya, kandas lagi. Dini yang tak bisa diatur, keras hati, dan manja mungkin tidak memiliki tempat bagi hidupnya. Atau alasan lain yang bahkan sampai sekarang aku tidak mengerti. Dia pergi. Dan sialnya, aku patah hati. Hahahaha! Fase ini kembali lagi. Sadness dan serangan panik. Bahkan lebih menjadi ketika belakangan aku tahu, di kantor aku difitnah oleh partnerku. Saking parahnya, aku harus menenggak analsik dan diazepam lagi. Sialnya lagi, esensial oil juga tidak terlalu berfungsi.

**bersambung**


02 Mei 2021

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...