Kepada kecup pertama di bulan September;
Seperti peraduan kata-kata yang lainnya, kini usai sudah cerita yang lama tidak diselesaikan itu. Terus berlanjut dan mangkrak enggan berkesudahan. Akhirnya ia melenyapkan diri, meski ada sisanya; engkau masih bisa disentuh dalam panjaitan doa yang lain. Namun, cerita tentangmu sudah benar-benar diselesaikan. Ingin rasanya, separuh hati yang tersisa melompat keluar dari dada.
Binar dan tawa masih tersudut hingga ketika malam itu bergemuruh menemui tanggal satu, aku dijatuhkan lagi. Sedia jatuh dalam cinta, pun telah bersiap untuk menjatuhkan kecewa. Manis dan halus tuturmu. Hangat dan penuh dekap. Satir dan penuh sindir. Saat itu, aku benar-benar melihat diriku dari versi yang berbeda. Engkau selalu ngesah tentang keberanian, bahkan dari sejak percakapan pertama kita lima tahun lalu ada dari bagian telingaku yang membisik bahwa engkau akan hadir mengisi hari-hari.
Dan pada saat kali pertama engkau menyalami, aku sudah hilang termakan buai. Nasihat-nasihat itu, merampai pelan membentuk tekad bahwa engkau sudah memenangkan hatiku sejak kali pertama engkau menjabat tangan salah seorang temanku.
Dan pulalah, pertemuan lagi-lagi akan membawa kita pada perpisahan yang berulang-ulang. Ada banyak perbedaan yang merecoki perjalanan kita; tak ada ingkar atau ragu, hanya saja memang pada akhirnya Tuhan enggan mempersilahkan engkau membuka waktu. Melewati pula ego masing-masing yang sibuk mengurusi cita-cita, atau pula obsesi kita menjadi diri yang diinginkan banyak orang.
Bebungaan dalam hati kini sudah banyak yang layu; aku berada di simpang jalanan, entahlah haruskah aku menyiramnya kembali atau menanam yang baru (lagi).
Perjalanan ini mungkin akan terus, sampai aku punya taman bunga yang harum dan indah. Remuk dan redam lagi, separuh hati dicuri lagi.
22 November 2019