Langsung ke konten utama

Taman Bunga Impian

Kepada kecup pertama di bulan September;

Seperti peraduan kata-kata yang lainnya, kini usai sudah cerita yang lama tidak diselesaikan itu. Terus berlanjut dan mangkrak enggan berkesudahan. Akhirnya ia melenyapkan diri, meski ada sisanya; engkau masih bisa disentuh dalam panjaitan doa yang lain. Namun, cerita tentangmu sudah benar-benar diselesaikan. Ingin rasanya, separuh hati yang tersisa melompat keluar dari dada. 
Binar dan tawa masih tersudut hingga ketika malam itu bergemuruh menemui tanggal satu, aku dijatuhkan lagi. Sedia jatuh dalam cinta, pun telah bersiap untuk menjatuhkan kecewa. Manis dan halus tuturmu. Hangat dan penuh dekap. Satir dan penuh sindir. Saat itu, aku benar-benar melihat diriku dari versi yang berbeda. Engkau selalu ngesah tentang keberanian, bahkan dari sejak percakapan pertama kita lima tahun lalu ada dari bagian telingaku yang membisik bahwa engkau akan hadir mengisi hari-hari.
Dan pada saat kali pertama engkau menyalami, aku sudah hilang termakan buai. Nasihat-nasihat itu, merampai pelan membentuk tekad bahwa engkau sudah memenangkan hatiku sejak kali pertama engkau menjabat tangan salah seorang temanku. 

Dan pulalah, pertemuan lagi-lagi akan membawa kita pada perpisahan yang berulang-ulang. Ada banyak perbedaan yang merecoki perjalanan kita; tak ada ingkar atau ragu, hanya saja memang pada akhirnya Tuhan enggan mempersilahkan engkau membuka waktu. Melewati pula ego masing-masing yang sibuk mengurusi cita-cita, atau pula obsesi kita menjadi diri yang diinginkan banyak orang. 
Bebungaan dalam hati kini sudah banyak yang layu; aku berada di simpang jalanan, entahlah haruskah aku menyiramnya kembali atau menanam yang baru (lagi).

Perjalanan ini mungkin akan terus, sampai aku punya taman bunga yang harum dan indah. Remuk dan redam lagi, separuh hati dicuri lagi. 


22 November 2019

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...