Langsung ke konten utama

Ampun, Tuhan!

Tuhan sejagad raya, bersediakah Kau mendengarkan kesah ini? 
Sedikit saja. Biar semua keluar dari dada yang sesak ini, biar air mata itu membebaskan dirinya dari kengkang nafas yang tersengal-sengal, biar pedih bibir ini menyeruak setelah rakus digigiti oleh kawanan gigi. 

Tuhan sejagad raya, masihkah engkau mendengarku? 
Apa Kau mulai jengah sebab kubawa hanyalah kemarahan serta kekecewaan yang kian menggunung?
Demi Engkau Tuhan sejagad raya, barisan kata-kata ini bagiku ialah sudut paling sepi. Tidak lagi ada yang tahu betapa riuhnya kepala ini selain semayamku di hadapan Engkau. 

Tuhan? 
Apa Kau masih di sana? 
Sebab dari tadi aku tak mendengar balasanmu. Aku seperti keledai buta yang jatuh dalam lubang berisi air kotoranku sendiri. Meski tak terlihat, lubang ini dangkal sekali. Aku bisa lolos, tapi aku tak melihatnya. Sebab aku buta, Tuhan. Di mataku semuanya begitu tiada. Begitu gelap. Apakah Engkau juga akan menyalahi keberadaanku? 

Tuhan sejagad raya, Engkau tetap diam di sana? Mengapa Engkau tidak pernah menjawab ucapanku. 
Apa jarakku terlalu jauh sehingga Kau tak mendengar?

Tuhan, sekarang Kau membuatku sangat gila. Lagi dan lagi, Kau hanya diam. Seolah tak sudi mendengarku berucap. 

Apa yang sanggup menjelaskan tentang rasa kecewa ini? 
Aku tidak sanggup lagi memulihkan luka..
Tuhan, sudut ini semakin sempit. 
Ia mulai mendesak tubuhku.. 
Semakin sedikit udara yang dapat kuhirup. Tuhan, ampun! Sudut ini sudah mulai mematahkan tulang pundakku. 
Tuhan, leherku patah! 
Astaga, Tuhan ampuni aku! Bola mataku menggelinding dan terinjak oleh kakiku sendiri. 
Tuh..an! Aku menyerah!
***

Sejak dalam pikiranmu, yang ada hanyalah kehancuran dan kekecewaan. Rasakan saja dengan penuh penghayatan apa yang terjadi untukmu sekarang. Bukankah itu yang akan terjadi pada seseorang yang tak bisa memaafkan? 

Tuhan, ampun!

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...