Langsung ke konten utama

Halimun di Pelupuk Gulistan

Pusara mengaitkan kancingnya, lalu berdiri meninggalkan wanita itu. Ah, memang penjahat pembuat sarang. Lelaki biadab. Namun, lantas mengapa kau serta-merta menuduh pria itu merusak citra wanita? Bukankah sang wanita yang ingin? Jika memang tidak, tak mungkin Pusara sebejat itu. Ah. Sudah. Lupakan.
         Pusara memapas bumi, ia berjalan menyusuri jalanan hutan. Sebelumnya, ia kaitkan tali sepatunya agar tak terlepas. Sungguh, kau memang sang pengelana sejati. Sesekali kau menebas rerantingan untukmu berjalan dengan belati tua kesayanganmu, yang kau dapatkan dari ayahmu. Mengibaratkan seorang raja hutan yang sedang mencari jalan mangsa ditempatnya berkuasa.  Kau berjalan menyusuri eloknya hutan. Tugasmu setiap pagi, adalah berburu. Matahari memang belum sempat memperlihatkan semburat cahayanya padamu. Kekuatan lelakianmu kini diuji, bagaimana mungkin seorang lelaki kurus dengan tubuh penuh lebam bekas penyiksaan kompeni karna pembelaanmu akan negara ini harus bergegas berburu pagi-pagi sekali. Tentunya, dengan hawa dingin yang sewaktu-waktu dapat membuatmu mati kedinginan. Kau hebat, Pusara.
Di tengah jalan, kau melihat sebuah bunga yang ayu. Bersinar diantara semua kabut yang mengitari dahan-dahan serta ranting-ranting tua. Pikiranmu membusuk, Pusara. Itu hanya bebungaan, bukan wanita yang tadi malam kau setubuhi. Pusara berjalan mendekati bunga itu. Ah, hanya bunga sepatu, nyatanya. Tak seperti yang kau bayangkan. Bunga yang cantik, elegan, yang dapat selalu kau bawa kemana-mana. Bukan seperti kecubung yang buahnya membuatmu mabuk kepayang, atau bahkan ganja yang sesekali membuat kebahagiaan telak atasmu walau hanya sesaat. Tunggu, itu hanya bebungaan Pusara. Bukan wanita semalam. Kini, kau berusaha meraih bunga sepatu itu. Ah, kau jadi ingat bukan? Betapa cantiknya biduan desa sebelah ketika menyanyikan senandung seroja, serta betapa anggunnya janda kembang desa sebrang ketika berjalan menjajakan kue putu ayu yang bagimu lezat itu. Lalu betapa membuatmu kepalang rindu atas sentuhan lembut Rohaya, istri mudamu yang mati tertembak peluru kompeni. Kala dengan susah payah kau bela negara ini, hingga kehilangan sosok istri muda dambaan lelaki negeri Berantah. Bahkan sang mahajana pun memanggilmu mahaparana. Ah, Pusara kau ini hebat.
Belum lagi ketika anak gadismu menjadi bahan cibiran masyarakat, karena paras cantiknya yang luar biasa. Ketika dengan hangat kau ajarkan gadismu memahfuzkan ayat-ayat suci Al-Quran, lalu kau ajari bagaimana berlenggang dimuka umum. Kau ini ayah yang baik, Pusara.
         Pikiranmu masih melenggong dengan seksama, mendapati bunga sepatu cantik itu. Kau sentuh-sentuhnya, dengan hati gundah, kau petik lagi, satu demi satu. Warnanya cantik, batinmu. Ingin kau ambil seluruh bebungaan di gulistan yang segar ini dan kau bawa pulang, tentu rasa-rasanya akan kau beri pada anak gadismu di rumah.
Kau pungut setangkai demi tangkai bebungaan itu. Mawar, sepatu, hingga matahari. Tak lagi terpikir soal berburu binatang tuk lauk makan, kau akhirnya pulang dengan seikat bebungaan di tangan kurusmu.
         Sesampainya di rumah kau disambut oleh anak gadismu yang belia, wajahnya cantik seperti Rohaya, bibirnya mungil sepertimu. Namun apa yang hendak dikata, bila takdir yang harus berbicara. Mulut busukmu pun  tak dapat lagi membantahnya.
         “Ku bawakan seikat bebungaan untukmu. Kau suka bunga mawar bukan?”
         “Untuk apa kau bawakan aku seikat bunga setiap hari? Bunga anyelir hasilmu berburu pun masih segar di atas meja. Aku ingin makan. Apa kiranya kau ingin aku untuk memakan bebungaan ini?”
         “Sejak kapan kau dapat melawan ayahmu?”
         “Aku tak ingin melawan. Bukankah lebih baik ayah membawakanku serantai ikan atau seember kurstasea dari sungai Antah Berantah untuk ku masak?”
Pikiranmu mengacau, Pusara. Kenyataan mungkin tak sebanding dengan jalan pikiranmu. Anak gadismu telah dapat bereaksi terhadap suatu realitas kehidupan, bahwa akankah lebih berguna jika setiap hari kau bawakan seember kepiting daripada seikat bunga. Kau bergegas kembali. Kaki telanjangmu kini telah merambah hutan kembali. Kau tak ingin melihat anak beliamu mati kelaparan, kau pun tak ingin melihat anak gadismu benar-benar memakan bebungaan yang kau bawakan tadi.
Ujung kakimu menapaki lelumpuran, kau singkirkan kerikil-kerikil tajam itu. Kakimu tertusuk. Ah, mulutmu berteriak geram. Untuk apa lagi kau menyiksa kakimu sendiri? Sedangkan dahulu kau bisa berbicara panjang lebar tentang apa arti kekuasaan jika kaki dan hati tak dapat melangkah secara serentak? Itu hanya omong kosong, Pusara. Lihat kakimu yang penuh dengan luka, mungkin hatimu tak ingin berjalan kesitu. Tiba-tiba kau mengeluh kesakitan. Ada tiga pacet yang sibuk menyedot darahmu. Kau tersenyum beringas. Lintah sialan, pekikmu. Lalu, kau sulut api di obormu lalu kau gosokkan pada lintah-lintah itu. Lalu kau kembali memapaki hutan. Siang bukan lagi rahasia, matahari kian meninggi, seharusnya. Namun kau telah memasuki lubuk hutan paling dalam, di mana kabut membuat pandanganmu menjadi terganggu. Tetiba kau sampai pada gulistan kecil di lubuk hutan. kau mendapati bunga sepati itu lagi, kau terkesima lagi. Bagaimana tidak? Sehingga kau asyik bernostalgia tatkala Rohaya tersipu malu dengan pipinya merah bunga sepatu. Kau seperti melihat Rohaya. Lalu, kau ambilnya bunga sepatu itu. Ah. Anakmu sedang menunggumu di rumah. Dia sedang kelaparan.
Sebuah penantian itu memerlukan energi, pastinya kau tak mau melihat anak gadismu kehilangan banyak energi karena menunggumu.
Pusara berjalan lagi.
Dagumu yang legam kini membiru.
Kicauan burung seakan menertawakanmu.
Tapi hatimu, sepekat halimun di pagi hari, jiwamu seindah gulistan.

oleh Dinie W. Wicaksani

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...