Langsung ke konten utama

Monolog: Makhluk dari Neraka

Genjrengan pertama,
Apa benar yang kutemukan adalah ketenangan..
genjerengan kedua,
Apa benar yang kutemukan adalah kedamaian..

Gigil tersudut sepi pada temaram senjakala, sedangkan ini masih pagi dan belum tentu semuanya bahagia. Sebab mentari sudah tiba namun luka belum sepenuhnya binasa. Ada aku dan gitarku yang tak punya senar satu. Bisa jadi pagi tidak lagi biru, serta malam tidak lagi kelabu. Sebab seluruhnya baru tak seperti asal mula kau dahulu.
Dan kemudian aku disebutnya perempuan dari neraka, sebab aku tak pernah ikut-ikutan berjejer dan bersujud di hadapan Tuhannya. Padahal aku selalu mengindahkan kasih sayang sesuai dengan ajarannya, tapi tetap saja aku adalah perempuan dari neraka. Yang tidak menutup tubuhnya dengan kain perca sebab aku perempuan dari neraka. Kemudian mereka menyandingkan aku dengan seluruh makhluk berdosa yang siap disiksa sampai binasa. Ya, ya, ya, ingat bahwa aku adalah makhluk dari neraka.

O, Tuhan! Sungguh! aku tak hendak mangkir dariMu tapi sudah kuupayakan bahwa umatmu menyebutku makhluk dari neraka bahkan tanpa pertimbanganmu. Di satukanlah aku bersama orang-orang yang membawa ajaranMu untuk mendapatkan keinginannya. Sedangkan aku, di sini merengkuhkan tubuhku tanpa sepengetahuan siapapun dan tetap dihujatkan berita pengirimanku ke neraka. Aku enggan mangkir, tapi dari sisa doa yang kupelajari waktu kecil. Aku akan bertaubat sekarang juga, dengan mencuci diri dari kepongahan. Atau setidaknya mencuci diri dari kemunafikan itu sudah lama kuamalkan. Bila nanti di surga sudah berdesakan oleh orang-orang yang sujud untukMu demi keinginan mereka, O, Tuhan. Aku sudi untuk ditempatkan di sisa ubin yang telah mereka injak-injak. Biar kelak, aku tak menua di neraka.


Genjrengan itu terdengar lagi,
Apa benar yang kutemukan adalah ketenangan?
Genjrengan itu terdengar lagi dan lagi,
Apa benar yang kutemukan adalah kedamaian?

Genjrengan yang terakhir, dan lampu mati.

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...