Langsung ke konten utama
"Kamu belum boleh menangis sebelum aku memalingkan wajah, jangan anggap lantas aku tega meninggalkanmu secepat ini."

Secarik kertas itu terlipat rapi di atas buku-buku yang beserak. Di ruang kerja itu, ia bisa menapak tilas seluruh yang dipelajarinya hari ini. Maka tak segan ku tinggalkan di sana. Semula aku mengerti, pergi ialah bukan pilihan terbaik. Namun, apalagi yang dapat dilakukan oleh seorang yang disorientasi keputusan? Seperti jelaga yang diuarkan oleh kobar api para petani yang membakar batang-batang padi, mereka menguar pada lapisan bumi paling jauh. Tidak ada lagi pilihan selain pergi, dan berlari.

 Lantas aku akan berhenti untuk mencintai, sebagai Putri Padi aku tetap mencintai seorang petani. Sayangnya, aku tak mampu memantaskan diri.

Surat itu bertengger manis di atas sebuah buku yang pernah kita baca bersama. Manakala hujan begitu deras mengguyur kota, serta mata yang tak hendak terpejam kala temaram mulai menggenggam mentari yang padam. Buku itu syarat dengan kenangan, saat pagut asiri bercampur dengan bius aromamu. Ialah aroma yang kukenali telah mengendap bersama ingatan. 

Di sana aku menemukan keteduhan yang hingar di sudut yang bising. Seperti ketika seorang bayi menangis yang menemukan mainan andalannya. Seperti anjing tersesat yang menemukan majikannya. Seperti seorang anak yang sedang merengkuh tubuh ayahnya. Teduh dan tenang.

Sebelum yang kutemui ialah segalanya selain ketidakjujuran. Aku memakan kebahagiaan yang palsu. Pengairan, kasih sayang, pupuk, semaian, seluruhnya bertujuan. Tak habis-habisnya aku mengutuki petani itu sebab berasku dibiarkannya terpetik dan dijual. Betapa mengherankan, sebagai perempuan aku tergilas. Menangis sebatangkara bersama ribuan batang-batang yang dibakar habis kemudian diganti dengan biji yang disemai baru. 

Petani, siapa sebenarnya kau?

—Dinie Wicaksani

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...