"Kamu belum boleh menangis sebelum aku memalingkan wajah, jangan anggap lantas aku tega meninggalkanmu secepat ini."
Secarik kertas itu terlipat rapi di atas buku-buku yang beserak. Di ruang kerja itu, ia bisa menapak tilas seluruh yang dipelajarinya hari ini. Maka tak segan ku tinggalkan di sana. Semula aku mengerti, pergi ialah bukan pilihan terbaik. Namun, apalagi yang dapat dilakukan oleh seorang yang disorientasi keputusan? Seperti jelaga yang diuarkan oleh kobar api para petani yang membakar batang-batang padi, mereka menguar pada lapisan bumi paling jauh. Tidak ada lagi pilihan selain pergi, dan berlari.
Lantas aku akan berhenti untuk mencintai, sebagai Putri Padi aku tetap mencintai seorang petani. Sayangnya, aku tak mampu memantaskan diri.
Surat itu bertengger manis di atas sebuah buku yang pernah kita baca bersama. Manakala hujan begitu deras mengguyur kota, serta mata yang tak hendak terpejam kala temaram mulai menggenggam mentari yang padam. Buku itu syarat dengan kenangan, saat pagut asiri bercampur dengan bius aromamu. Ialah aroma yang kukenali telah mengendap bersama ingatan.
Di sana aku menemukan keteduhan yang hingar di sudut yang bising. Seperti ketika seorang bayi menangis yang menemukan mainan andalannya. Seperti anjing tersesat yang menemukan majikannya. Seperti seorang anak yang sedang merengkuh tubuh ayahnya. Teduh dan tenang.
Sebelum yang kutemui ialah segalanya selain ketidakjujuran. Aku memakan kebahagiaan yang palsu. Pengairan, kasih sayang, pupuk, semaian, seluruhnya bertujuan. Tak habis-habisnya aku mengutuki petani itu sebab berasku dibiarkannya terpetik dan dijual. Betapa mengherankan, sebagai perempuan aku tergilas. Menangis sebatangkara bersama ribuan batang-batang yang dibakar habis kemudian diganti dengan biji yang disemai baru.
Petani, siapa sebenarnya kau?
—Dinie Wicaksani