"Plaak!"
Telapak tangan hangat yang selalu kurindukan itu menghantam pipi kiriku. Lantas ia mengepal. Seperti ada raut sesal dari pendar punggung tangannya. Diam dan menciut. Redam namun membara. Dalam sela-sela penyesalan itu, ada berjuta ladang padi yang terhisap habis oleh kemarau. Memberangus dengan perlahan, tak sejuk lagi. Wajahku. Dengan sisa sakit tamparan itu, aku diam memandanginya dengan geram. Gulita bersemayam. Aku tak kuasa, air mata itu kemuncak lepas meleleh. Berharap sesaat air mata mencoba menyejukkan ladang padi yang tandus itu.
"Aku benar-benar sudah tak mengenalimu." Isak mulai cair, ludah yang kutelan mulai terasa pahit. Gelap dan tandus. Ia meraih tubuhku, berusaha mencari celah untuk mendekap. Pendar sesal itu ikut meluap dalam bibirnya. Seperti luberan air yang membludak keluar dari dalam belanga yang penuh. Ia kwalahan, ladang padi itu sudah berubah menjadi hamparan tanah yang kering dan retak.
"Maafkan aku." Ia terus meronta-ronta, tergolek lemah dalam simpuhnya. Belum sekalipun aku melihatnya demikian. Dasar lemah! Pemukul! Kasar! Semua kata kasar keluar dalam benakku, ia tak sampai luput keluar. Lelaki yang kukenal bertahun-tahun tega menampar pipiku.
Nel, ladang padi yang kau tanam mendadak raib
Kering dan retak
Aku baru saja tersadar bahwa dalam relung tubuhmu
Kau bukannlah seorang petani yang baik
"Aku benar-benar tidak menyangka, kamu bisa setega itu. Ayahku tidak akan mungkin menampar pipiku."
"Tapi aku bukan ayahmu!"
"Tapi aku ingin kau menjadi seperti ayahku."
"Tapi aku tak suka menyakiti hati perempuan. Sekonyong-konyong menjadikannya istri lalu menabur benih atau membangun sarang penyamun di mana-mana!"
Mulutku menganga. Ucapannya segaris tipis dengan pisau. Tangis itu tak bisa ku redam lagi. Sekarang aku benar-benar tidak mengenalnya. Ia berubah seperti persepsi otak seorang astronot di ruang antariksa. Waktu seakan melambat. Seluruh benda mengambang, tubuhku bagai roh yang melayang mencari tempat untuk bersandar. Hampa. Ladang padi itu terbakar habis. Kemarau panjang membawa angin panas dan berhasil menyulut api. Tidak ada lagi nuansa asri dan nyaman, hiruk pikuk dunia dalam untaian padi yang menguning. Tiada yang tersisa, yang ada hanyalah jelaga sesal.. Aku memalingkan pandangan, berlari secepat yang kukira. Bila benar ayahku suka menyakiti hati perempuan, setidaknya aku dan ibu tak pernah ia tampar.
Aku tak kuasa menahan isak, di sudut tenda aku menangisi percakapan itu. Tak lama berselang, kulihat sebuah siluet terhampar jelas. Membayang pada kain tenda. Lelaki itu..
"Maafkan aku."
"Seharusnya aku tak pernah percaya pada seluruh ucapanmu." Aku masih terisak dan membelakangi tubuhnya. Ia meraih pundakku.
"Kau harus mengerti, banyak hal yang sudah kita lalui bersama."
Mendengarnya, tiba-tiba aku ingin berteriak. AKU TAHU. Itulah sebabnya kita harus belajar untuk mencekik ego masing-masing.
"Dulu katamu, cinta ialah entitas yang murni dan membentuk satu-kesatuan. Unity. Seseorang yang dimabuk cinta akan didukung oleh semesta. Seperti para shaman yang berkomunikasi dengan roh leluhurnya dengan cara mengunyah tanaman yang mengandung entheogen. Menerabas dimensi satu dengan yang lain. Namun, yang aku dapatkan darimu adalah anarki."
Ucapku perlahan. Aku tahu betul, ia mulai menangis. Berusaha mencerna segala kata demi kata yang dulu pernah terlontar dari bibirnya, ku ulangi persis tanpa ada suatu perubahan kata. Seharusnya itu membuatnya semakin sesak akan penyesalan.
Ucapku perlahan. Aku tahu betul, ia mulai menangis. Berusaha mencerna segala kata demi kata yang dulu pernah terlontar dari bibirnya, ku ulangi persis tanpa ada suatu perubahan kata. Seharusnya itu membuatnya semakin sesak akan penyesalan.
Anarki katamu?
Di hamparan tanah yang luas
ku sulap kau menjadi ladang padi yang indah
saluran irigasi yang baik
terasering yang terjaga bentuknya
sebagai marhaen yang baik, aku akan membuat tanah retak itu kembali subur
Ada garis tipis antara cinta dan obsesi
Kau lupa, aku bisa mengurus diriku sendiri
Zigot-zigot itu akan membelah diri membentuk sel-sel sari pati
Kau lucu sekali
Poaceae dan berakar serabut
Mudah untuk terhempas
Ah, jangan-jangan mudah untuk ditanam pula
Kau juga lupa, aku varietas padi hibrida
satu kali tanam
Silahkan, mencari bibit yang lain
Tak akan kubiarkan kau kembali hangus teroyak
Marhaen sejati tak akan membiarkan bibit yang ia miliki terbuang sia-sia
akan kurintis ladang padi itu dengan bibit yang sama,
Kau
Bukankah itu hanya kalimat buaian?
Tubuh itu tetap di sana. Di belakangku. Menatapi sisa-sisa isak yang keluar mengatuk-atukkan tubuhku. Kita hanya saling bicara dalam benak. Sama-sama berkata-kata tanpa bicara. Diam namun saling menjelaskan. Riuh dalam senyap. Sayangnya, tubuh Putri Padi mendongak dan kembali menyaksikan silau pendar dari Petani Impiannya. Muda dan menggairahkan. Seakang sang putri tahu di mana tempatnya berlabuh, dan sehancur apa ia karam. Ia tetap kembali pada peraduan yang sama, sang Petani Muda. Tubuh kami tercekat, terselubuk oleh sulur-sulur yang halus. Perlahan padi itu kembali tumbuh dan kian menghijau. Ia memutar tubuhku dan menarik daguku mendekatinya. Satu kecupan panjang, bibir itu beradu.
"Padi, jangan pergi lagi. Kau meretas jiwaku dari sosialis menjadi marhaen."
"Revolusi pemikiran." Aku terkekeh.
Putri Padi memberikan satu tiket lagi untuk menembus batas maafnya lagi. Pada sang Petani Muda, ia serasa menggelepar tak berdaya. Sekuat apapun badai, ia tetap di sana menunggu sang Petani menyentuhnya. Seakan-akan dunia mendukung gelagat kami, angin-angin melambai. Dedaunan mengangguk-angguk, seakan berusaha untuk membujukku menerima perminta-maafan itu. Ilalang menggesek tubuh mereka, bernyanyi dan menari. Mereka membentuk satu-kesatuan alam, mendekatkan keterhubungan, serta menjauhkan keterpisahan.
Tenang, hangat, dan kekal.
"Padi, jangan pergi lagi. Kau meretas jiwaku dari sosialis menjadi marhaen."
"Revolusi pemikiran." Aku terkekeh.
Putri Padi memberikan satu tiket lagi untuk menembus batas maafnya lagi. Pada sang Petani Muda, ia serasa menggelepar tak berdaya. Sekuat apapun badai, ia tetap di sana menunggu sang Petani menyentuhnya. Seakan-akan dunia mendukung gelagat kami, angin-angin melambai. Dedaunan mengangguk-angguk, seakan berusaha untuk membujukku menerima perminta-maafan itu. Ilalang menggesek tubuh mereka, bernyanyi dan menari. Mereka membentuk satu-kesatuan alam, mendekatkan keterhubungan, serta menjauhkan keterpisahan.
Tenang, hangat, dan kekal.
Cinta.
Bukankah itu yang selama ini kita cari?