Berulang kali imaji, berulang kali perilaku sudah kau tampakkan ke permukaan.
Ia seperti menjadi budaya yang dengan mudah diwariskan pada anak cucu yang tak tahu apa-apa. Mendarah daging serta sulit dilepaskan. Mereka hanya mampu meniru tanpa menimbang, atau barangkali sesekali memikirkan baik atau buruknya. Namun, sebaik-baik kebiasaan adalah apa yang telah dilakukan berulangkali. kau selalu berujar bahwa jangan menjadi manusia yang sok kritis. Keresahan akan menghampiri orang-orang yang tak mau menjalankan aturan. Itu normatif sekali. Selalu begitu. Jangan-jangan kau diajarkan ketika membela diri ketika tidak bersalah adalah perilaku tercela. Orang tua macam apa yang mengajarkan anaknya untuk tidak memiliki hak jawab atas dirinya sendiri? Tubuhnya saja yang tua, namun tidak dengan pemikirannya.
Bak seorang bayi mungil yang terlahir tanpa dusta, seseorang berjalan sempoyongan dan sekenanya. Seperti tak memiliki kumpulan dosa yang harus siap sedia digantikan pada saat sudah tiada. Bayi mungil itu hanya merespon sesuatu dengan tangisan. Bukan dengan ceracau atau umpatan kasar seperti ayahnya ketika kakinya terpelatuk kaki meja. Bayi mungil itu hanya menangis. Barangkali ia hanya dapat melakukan demikian. Ia belum mampu bereaksi, atau melawan diri. Ataukah juga meluangkan sedikit tenaga untuk memperjuangkan hak jawab atas dirinya. Kemudian hal itu mengajarkanku sesuatu, bahwa sebuah ketidakberdayaan ada ketika memang kita tahu kita tak mampu melakukannya. Bukan berati tidak ada kesempatan sama sekali, tetapi tak mau untuk mencoba. Sebuah permasalahan yang klasik.
Siapa lagi yang akan membela kita jikalau bukan kita sendiri?
Bayi mungil pun memiliki suara, dalam tangisnya.