Saya sudah mulai gila.
Itu yang sempat saya rasakan beberapa waktu yang lalu. Saya lupa kapan tepatnya kejadian ini, namun sekitar beberapa minggu yang lalu.
Saat itu, aktivitas saya berjalan seperti biasanya. Mulai dari mentari menyongsong hingga bahkan kemudian menenggelamkan diri. Hari itu sungguh melelahkan, sampai-sampai pada pukul sepuluh malam saya sudah terlelap dalam mimpi. Namun, saya ingat betul. Sebelum terlelap, saya merasa mual tanpa sebab. Jelas saja, hari itu saya tidak sempat makan yang aneh-aneh. Seperti seblak dengan level kepedasan tinggi ataupun telat makan. Jadi seharusnya saya tidak akan merasakan mual pada perut saya malam itu. Nah, ketika sedang terlelap. Tiba-tiba saya terbangun. Terduduk. Terkejut bukan kepalang. Seperti ada yang membangunkan. Kiranya pernahkah kalian tiba-tiba terbangun pada malam hari dengan nafas yang menggebu? Ya, seperti itu rasanya. Dengan tambahan rasa mual di perut. Menyebalkan!
Dengan masih posisi terduduk di kasur, kemudian saya masih diam dan merenung mengapa saya harus bangun pada jam sekian. Waktu menunjukkan pukul satu malam saat itu, itu berati saya sudah cukup lelap karena hampir tertidur selama empat jam bukan? Tiba-tiba saya melihat ada sesuatu yang berkilau merayap dari arah kamar mandi. Sial! Kecoak! Saya tidak menghiraukan apapun kemudian menyalakan lampu dan memusnahkan hewan kerdil yang saya benci itu lalu membuangnya jauh-jauh. Keluar kamar. Saya perhatikan betul-betul kecoa itu, ia benar-benar harus sirna. Tiada boleh hidup dan merayap di sisi manapun tubuh saya! Kecoa itu masih bergerak dan merayap lagi. Banal! Gemas! Saya harus membuangnya jauh hingga kedepan pagar kosan. Meskipun saya harus membuka kunci gembok pagar itu, tak apa. Asalkan hewan kerdil sialan itu musnah! Dengan kelegaan hati yang agung, akhirnya saya kembali masuk ke dalam kamar dan hidup tenang. Hahahahha!
Namun, cerita tidak berhenti di situ. Rasa mual itu terus mendera. Kantuk pun menjadi sirna, karena perlawanan saya versus kecoa itu sempat mengalirkan darah dengan baik. Kemudian, saya kembali duduk di kasur. Sama sekali tidak memegang ponsel ataupun sekedar mendengarkan musik, seperti biasanya. Saya dengan jelas mendengarkan tik-tok jarum jam dan desing bunyi mesin sanyo dari jauh. Tiba-tiba ada perubahan emosi dalam diri saya. Ya, saya menjadi sendu. Perlahan-lahan kedua bola mata saya berkaca-kaca. Kemudian menangisi hal yang entah. Saya tak mengerti apa yang terjadi dalam diri saya saat itu, yang saya tahu hal ini pasti ada hubungannya dengan perempuan yang duduk di bawah jendela. Ya, perempuan yang saya puisikan dalam "Haur Duka". Ia merunduk. Diam. Berpakaian serba putih, rambutnya panjang sekali. Sebenarnya, kedua mata saya sama sekali tak melihatnya. Tapi hal itu jelas tergambar dalam pikiran. Pernahkah kalian merasa diperhatikan oleh sesuatu dari sebuah sudut namun ketika kalian melihat pada sudut itu kalian tak menemukan sesiapa? Ya, seperti itu. Itu yang terjadi pada saya, namun ia tergambar jelas dalam otak.
Tangan saya seperti lemas, gemetar, hingga degup jantung saya semakin cepat. Seperti ketika kalian merasa ada pada puncak kesedihan, yang tiba-tiba segala macam peristiwa menyedihkan kemudian muncul bercampur menjadi satu? Ya, itu yang saya rasa. Namun bedanya, peristiwa-peristiwa itu sama sekali belum pernah saya alami. Itu telak bukan cerita saya. Saya yakin betul.
Bagaimana bisa perempuan ini menceritakan semuanya hanya melalui emosional? Saya rasa kami beda dimensi. Entahlah, saya merasa gila setelahnya.
Bila teman-teman tahu, waktu itu tangisan saya menceracau dan meraung-raung. Semakin lama semakin menyedihkan.
"Maafin Dini, Dini nggak bisa bantu kalian. Dini nggak bisa bantu kalian.. Tolong berhenti.. Tolong berhenti.."
Itu sebagian yang saya sempat ucapkan. Pernahkah kalian tanpa sadar berbicara sesuatu yang tidak ingin diucapkan? Bahkan tidak ada sejak dalam pikiran? Nah, demikian rasanya. Waktu itu, saya merasa harus mampu mengontrol diri. Kemudian saya mencari-cari keberadaan telepon genggam itu lalu meminta salah seorang teman untuk menemui saya. Waktu itu, yang saya pikirkan adalah Kak Imas belum tidur. Sedangkan anak-anak kos seberang kamar pasti sudah terlelap. Tidak lama kemudian, Kak Imas datang.
"Kenapa nangis?"
Dengan sisa-sisa isak, aku diam dan meminum air putih. Lalu pergi ke tempat makan 24 jam yang ada di Purwokerto. Saya harus pergi sementara dari kamar ini, jika tidak "perempuan" ini semakin tidak tahu diri. Meskipun ceritanya pahit, dan atau mungkin dibuat-buat saya tak mudah gentar untuk percaya.
Setelah kejadian itu saya tak bisa melupakannya begitu saja. Barangkali, kalian beranggapan saya gila? Begitupun saya. Beberapa hari setelahnya, saya menemui Psikolog dan menceritakan semuanya. Orang itu hanya memberi dukungan dan berkata,
"Tidak apa-apa, Din. Itu bukan skizo. Itu anugerah. Disyukuri saja, serta perbanyak doa".
Setelah mendengar demikian, rasanya lega tapi juga gemas. Hahahahahaha!
"Pas kamu cerita begitu sambil nangis, Din. Aku merinding. Semua bulu berdiri." Ucap Kak Imas. Terimakasih kak, sudah menenangkan.
Hahahahaha.
Entahlah, apa yang kalian pikirkan tentang saya sekarang setelah membaca ini. Yang jelas, saya ingin berbagi.
Kiranya kalian musti mengerti, ada banyak hal yang tidak tersentuh oleh indera manusia sedang melakukan sesuatu. Beraneka bentuk dan tujuan.
Politik, misalnya. Hahahahaha!
05.40, 3 oktober 2017