Langsung ke konten utama

Kidung Bhanu

(Ilustrasi foto oleh Sunnu Faizal)

Berulang kali imaji..
Kau sapu bersih aksara..
Hisap habis hingga kerak..
Memungut jiwa yang berserak..
Umat manusia, panahan bumi astungkara

Lila..lila sirna ing wengi..
Gumlathak laku lan atine..
Awujud binarung kidung Bhanu..
Ngalor ngidul mlaku njur mlayu
Tumapak sinajan panguripan


Seenggok cerita mengenai imajinasi serta makhluk tak kasat mata sudah pernah saya ulas dalam beberapa tulisan sebelum ini. Bila teman-teman ingat, pada tulisan saya yang berjudul Oneironaut dan juga cerpen yang berjudul Rasuk di situ banyak sekali cerita yang bertopik demikian. Entahlah, akhir-akhir ini saya selalu memikirkan hal tersebut. 

Masa kanak-kanak ialah masa paling menyenangkan dalam hidup seseorang. Mereka memiliki imajinasi yang sangat lucu, energik, dan inovatif. Hal tersebut kemudian merambah pada tingkah dan juga perilaku anak tersebut. Begitu pula yang terjadi dengan masa kecil Dimpi. Ya, Dimpi adalah nama panggilan kecil saya. Menyebalkan memang, namun ayah dan ibu saya sangat menyukai nama tersebut. Padahal mereka pulalah yang memberikan nama Dinie pada saya sedari lahir. Ada-ada saja. Hahaha..

Dahulu, Ibu seringkali membelikan buku-buku dongeng bergambar lalu membacakannya ketika hendak menyambangi tidur. Dari sanalah pada awalnya saya diperkenalkan dengan imajinasi. Saat itu saya masih sekolah taman kanak-kanak. Seringkali pada malam tiba saya membayangkan sebuah cerita hadir di atap-atap kamar, di sana banyak sekali monster-monster lucu yang memakan buah-buahan yang hendak matang. Lucu sekali! Hingga suatu ketika, seorang anak kecil (tentunya pada waktu itu usianya sebaya dengan saya) menghampiri saya ketempat tidur ketika saya sedang asyik melihat monster dan beberapa jerapah itu sibuk mengayuh-ayuh buah jambu di atap-atap dinding. Saya ingat betul, Ibu sudah terlelap tepat di samping kiri. Anak itu kemudian ikut menunjuk-tunjuk jerapah itu. Ia berkata bahwa namanya ialah Bhanu. Ya, Bhanu. Semenjak malam itu, Bhanu selalu singgah pada kamar dan imajinasi saya sesaat sebelum tidur. Pada saat itu, yang saya ingat Bhanu adalah raja dari alam monster. Tubuhnya sangat mungil, seperti berumur sekitar tujuh hingga delapan tahunan. Ia menjadi teman baik saya. Selalu. 

Hahahaha. Kalian jangan tertawa, beginilah adanya. Saya ingat betul, Ibu selalu berkata "Dini tidur, kalau Dini nggak tidur, Bhanu nggak akan pulang". 
Lucunya, sosok Bhanu ini kemudian muncul di mana-mana. Bukan hanya di kamar dan saat malam hari sewaktu kami hendak tidur. Tetapi seringkali bersembunyi di balik mesin jahit tua milik Ibu, bahkan saya pernah melihatnya bermain-main dengan mesin jahit itu. Lucu sekali! 

Sampai saat ini saya tidak mengetahui asal muasal keberadaan Bhanu karena kami telah memutuskan untuk berpindah-pindah rumah. Rumah kami saat itu terletak di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sebuah rumah kontrakan yang cukup luas, dengan dua kamar bersampingan serta sebuah ruang tamu yang luas. Pada ujung ruangnya, terdapat tiga buah mesin jahit milik Ibu serta sebuah kasur tua dari kayu jati. Dahulu, jika kita sedang asyik menonton televisi di ruang tengah tiba-tiba saya menyeletuk..
"Bhanu, kok baru datang?" 
Setelah celetukan itu, Ibu selalu mengajak saya untuk tidur dan meninggalkan ruang televisi, bahkan bila saya menolak dan memilih untuk bermain dengan anak itu. Ibu sedikit memaksa, bila tolakan itu semakin keras Ibu mencubit lengan saya hingga memerah. Akhirnya, saya menurutinya dan memaksakan pejaman mata yang pertama. Di kamar, saya melihat Ibu tampak sangatlah gelisah. Kakinya tidak bisa diam. 
"Bu, kalo kakinya goyang terus Dini jadi nggak bisa tidur." Ucapku sembari melihat kedua kaki Ibu terus bergoyang-goyang, dan di situlah kemudian saya seringkali melihat Bhanu sedang bertupang dagu sembari memandangi kita berdua. Dan lagi, saya tidak pernah mengerti. Saat itu, yang saya tahu Bhanu ialah Raja dari Negeri Monster. Hm.. dan kalian tahu, ketika saya menulis ini entah kenapa kedua tangan saya agak gemetar. Seperti ada gigil merangsek hebat, tapi saya tahu di sini tidak sedingin yang kalian bayangkan. Ini hanya sugesti. Kalian tenang saja. 

Beberapa tahun tinggal di rumah itu, kemudian kedua orang tuaku terpaksa untuk pindah keluar kota. Beberapa hari sebelumnya, saya sempat melihat Bhanu sedang asyik bermain ikan-ikan koleksi milik Ayah. Anak usil itu mengaduk-aduk airnya.
"Kalau Dini pergi, aku juga akan pergi." Ucapnya dengan picingan mata yang menyeramkan.
Mendengarnya demikian, mulut saya seakan-akan terkunci. Semua enggan untuk berpisah, Nu. Lalu beberapa hari kemudian ia tak pernah lagi hadir dalam rumah ataupun imajinasi saya. 
Ibu berucap, Bhanu sudah pulang, apabila saya terus menanyakan keberadaan anak usil itu. Ada rasa yang aneh, saat anak itu tidak ada. Suasana rumah seperti sangat sepi dan dingin. Jujur, saya begitu kehilangan anak itu. 

Hingga kini saya tak pernah mengerti apakah Bhanu benar-benar pernah hadir dalam hidup saya ataupun tidak. Ia pernah mengajarkan kepercayaan diri yang tak lekang oleh apapun pada sosok Dini kecil. Tanpa sadar, ia bahkan menjadi sosok pendengar yang baik (bila kalian tahu, ketika menulis ini air mataku meleleh tanpa sebab). Apakah Bhanu adalah sosok Dini kecil yang lain? Yang hadir dalam imajinasi masa kecil saya yang aneh? Entahlah, sampai saat ini saya tidak pernah tahu dan mencari tahu apa yang terjadi. Yang saya rasa, Bhanu bukan sekedar teman khayalan saya. Namun, ia hidup pada dimensi yang berbeda dengan manusia. Kulitnya pucat dan dingin, rambutnya lusuh. Perawakannya seperti anak-anak pada umumnya. Hanya saja ia tidak padat, namun transparan seperti hologram. Betul, ia seperti hologram yang bergerak bahkan dapat menembus pintu yang tertutup.

Di mana gerangan teman masa kecilku itu sekarang? Sudahkah ia menemukan jalan? 


Sedari Dimpi,
Teruntuk Bhanu, 

7 Agustus 2017

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...