Langsung ke konten utama

Cornelio (bagian 1)

Barangkali dalam satu waktu, kau hanya duduk memangku satu kaki dengan tangan memeluk mesra gitar tua yang kau beli jauh-jauh hari. Memakai kamisa andalan yang kau punya, tanganmu sedang asyik mengapit sebatang rokok Malrboro merah yang kau beli siang tadi. Menyemburkan asap pekat yang aromanya sama sekali tak kusenangi. Ia dapat merusak indera penciumanku, bahkan seketika alergi menyerang hidungku hingga bersin dan tersumbat sepanjang hari. Namun, kala itu yang berbeda. Kau tersenyum, seperti menggelayutkan semangat dan kerinduan tertanamkan dari sana. Jari-jemari itu kemudian memetik beberapa senar dengan lembut..

"Aku sering ditikam cinta.."

Kau bersenandung. Suara itu mendamaikan, terkadang ada pula yang terpeleset pada nada yang tidak seharusnya. Namun kau tetap melanjutkannya. Aku hanya tersenyum sembari melihat tingkahmu yang canggung ketika nada fals itu bersautan dari bibirmu sendiri. Menggemaskan sekali.  Kau bahkan tetap percaya pada dirimu sendiri ketika hal itu terjadi bahkan di depan seluruh teman-temanmu yang duduk tepat di hadapanmu, ya, di sampingku. Tidak seperti halnya aku yang mudah saja meletakan gitar itu kemudian menyalahkan gitarnya. Tetapi aku percaya, semuanya tetap terpukau dengan suara itu. Kau benar-benar mengagumkan. Seperti ketika kau dengan mahir melantunkan orasi-orasi itu di depan sebuah gedung mewah, tanpa ada yang mendengarnya. Lalu, dengan gagahnya kau mengayunkan pengeras suara itu pada mulutmu hingga suaranya menggelegar kemana-kemana. Kau tetap asyik menjalankan apa yang kau mau. 

"Semangat ini untuk kaum yang tertindas!" Teriakmu dari kejauhan. Pada saat itu juga, aku ingat betul, aku hanya diam dan kemudian meninggalkan kerumunan orang yang tak lain adalah masa cairmu. Aku tidak mengerti jalan pikiranmu pada saat itu. Untuk apa kau melakukan hal semacam itu? Sedangkan tak satupun orang dalam gedung itu mendengarkan orasi-orasimu. Tetapi tetap saja, bahkan berpuluh-puuh peluh barangkali sudah membanjiri tempat itu demi tujuan itu. Terik matahari bahkan tak kau hiraukan. 
Benarkah demikian? Selepas aksi itu, kita bertengkar hebat. 

"Kau tak akan pernah mengerti apa yang aku lakukan di sana. Padahal itu sama persis seperti ketika kau menyuarakan hatimu dalam tulisan-tulisan bodoh yang kau tulis dalam blog. Memangnya semuanya membaca tulisan itu? Tidak!" Ucapmu.

"Ada!"

"Siapa?!"

"Kau!"

"Aku membacanya karena kau memaksaku untuk membacanya!"

"Apa katamu? Mengapa arah pembicaraan kita menjadi seperti ini?"

"Kau yang memulai, dan aku hanya membandingkan apa yang kau suka dengan apa yang aku suka juga. Tiada yang salah."

Pernyataannya sangat ku benci. Pedih seketika. Tulisan bodoh katanya. Lelaki sialan! 
Aku hanya bisa diam dan mematung. Tanganku gemetar dan geram. Lalu, ia hanya diam dan menyulut sebatang rokok yang ia punya. Dalam hal ini, sungguh, jangan sampai aku meluruhkan air mata. Tiada gunanya menangisi pendapat yang berbeda. Hal itu seperti menanam kaktus pada tanah gembur. 

"Kau harusnya merubah jalan pikiranmu." Ucapnya. 

Kemudian kau menarik tanganku dengan paksa. Memaksaku untuk mengikutimu berjalan di belakang. Aku tak mau berjalan di belakangmu, aku memiliki jalan sendiri. Bukan sebagai teman belakang saja.

"Aku selalu berjalan di belakangmu, mengapa hal itu selalu aku lakukan? Perempuan modern mana yang mau berjalan di belakang seorang laki-laki. Seharusnya kita berjalan beriringan."

"Perempuan Jawa." Tukasmu.

Saat itu, kau membawaku ke sebuah tempat yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Sebuah tempat kumuh yang ramai sekali. Begitu banyak anak-anak kecil menyenandungkan lagu-lagu berlirik sensitif yang dimainkannya dengan sebuah gitar kecil berjuluk ukulele. Mereka tampak begitu kumal, pelipis matanya seakan berdebu. Debu itu menempel pekat dengan beberapa peluh membulir di sana. Lalu banyak sekali perempuan-perempuan yang menggendong bayi-bayinya yang menangis. Lelaki itu tetap menyeret tanganku, seakan tiada yang boleh lepas dari genggamannya. 

"Pelan-pelan!" Kataku sembari menghela nafas dan menyandarkan tubuhku pada sebuah dinding usang. 
"Ayo terus jalan, kau harus tahu mengapa aku melakukan ini semua! Jangan bersandar di situ, nanti tubuhmu kotor. Catnya sudah mengelupas, bajumu bisa putih semua. Lain kali jangan jadi pemalas!" Omelnya.

Betul juga, tubuhku bisa putih semua jikalau aku tetap menyandarkan diri pada dinding ini. Namun, mengapa kiranya lelaki ini membawaku ketempat ini. 

"Ini daerah apa?" 

"Sampai kapan kau akan bicara dan hanya diam di sini saja?"

"Ya, aku sudah berjalan. Aku hanya bertanya, ini tempat apa, itu saja. Jika kau tak mau menjawab tinggal diam saja, begitu saja susah."

"Tadi kau bilang ini daerah apa, bukan tempat apa. Dasar tidak konsisten! Pantas saja pembacamu tidak ada yang suka pada tulisan itu, berubah-ubah, tidak konsisten."

"Perubahan kan selalu ada, Bung. Kau pun begitu, dulu kau tidak pernah memutuskan untuk memanjangkan rambutmu kan? Tapi kini kau gondrong sekali."

"Ya, perubahan akan selalu ada, Nona. Tetapi setidaknya kau harus menjulang seperti terbangnya burung rajawali. Tidak naik turun seperti jalanan yang ada di pegunungan."

"Kau seperti ayahku."

Nel, siang itu sangatlah terik. Aku bahkan sampai tidak menghitung berapa tissue yang aku habiskan untuk menyeka peluh ini. Namun, jalanan itu masih cukup jauh. Dari percakapan itu, aku merindukan ayahku seketika. Kau sama persis dengannya. Ia juga mengaminkan perubahan yang seperti kau lantunkan. Ia juga menganalogikan terbangnya burung rajawali. Entah ini hanya kebetulan atau seraya dicipta Tuhan.

Tanganku tetap menjulur kedepan, menikmati seretanmu yang tiada henti-hentinya. Kemeja flanel berwarna biru, tas ransel berwarna navy serta sepatu hitam bertali. Berjalan lurus ke depan pada sebuah jalanan gang yang sempit. Melewati rumah-rumah kayu dengan anak-anak kecil asyik bermain ampar-ampar pisang. Jalanan pada gang itu cukup jauh, sejauh mataku memandang hanyalah tembok-tembok rata berbarisan.

"Ney, aku lelah. Apakah kita masih jauh untuk berjalan?"

"Baiklah, kita istirahat sebentar. Bersandarlah pada dinding putih itu."

"Katamu, tubuhku akan kotor."

"Lihat baik-baik, dinding itu catnya masih baru. Tak mungkin mengelupas seperti dinding yang kau pilih."

"Memangnya apa bedanya?" Tanyaku sembari menyentuh perlahan tembok itu dan benar juga, dua jemari ini masih bersih. Tidak ada cat kering berwarna putih yang menempel di sana. Lalu, aku memutar balik tubuh ini dan menyandarkan punggungku di sana.

"Ah, lega sekali. Dinding selalu dingin. Seperti kamu." 
Ucapku memulai pembicaraan. Sebenarnya, Ney, tidak, kau adalah lelaki yang hangat. 

"Dingin adalah panas yang lain, Dyn." 
Kau ikut menyandarkan tubuhmu pada dinding itu, tepat di sampingku. Dan selalu saja, kau tetap penuh misteri. Seperti pagi tak bermentari, entah malam ataupun siang. Ia tetap gelap gulita, tak tersentuh dan terbengkalai. Lalu Nel, apa yang membuatmu melakukan semua ini? Apa yang ada dalam otakmu.

"Lalu, kau akan membawaku kemana?"

"Dyn, menurutmu apa yang paling indah di antara melihat orang bahagia atau membahagiakan?"

"Dua-duanya."

"Kau harus pilih salah satu."

"Ney, tidak bisa! Bagiku itu adalah satu kalimat. Melihat orang bahagia karena membahagiakan."

"Aku tidak menyebut kata karena, Dyn."

"Oke, baiklah, membahagiakan."

"Nah, sekarang, apa menurut..."

"Ah, sudah Nel, jangan kau persulit yang sebetulnya bisa dibuat mudah."

"Aku tidak akan melanjutkan, bila kau tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan."

"Itu pertanyaan bukan penjelasan."

"Ya, pertanyaan adalah awal dari penjelasan bukan? Bukankah teori ada karena peristiwa?"

Teruntuk hal ini, kau menang banyak. Kau selalu bisa mengakhiri perdebatan kita. Memangkasnya menjadi sebuah obrolan yang tidak asyik. Bagiku. Ya, karena aku selalu merasa menjadi tidak memiliki posisi tawar yang sama. Seperti saat kita memperdebatkan bagaimana suatu "kepernahan" menjadi alasan suatu peristiwa terjadi. Kau selalu bisa mengaitkannya dengan bukti-bukti nyata yang empiris. Katamu, peristiwa terjadi karena ada faktanya seperti lima W dan satu H. Jikalau begitu, kau adalah pembohong besar. Kau bahkan tidak melakukan apa-apa ketika berkata "pernah memikirkanku", karena hal itu hanya ada dalam ruang waktu dan pikiranmu saja. Sungguh perdebatan aneh.





Bersambung..

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...