Jam dinding terus berdetak,
tangan-tangan penuh darah masih siaga di atas meja operasi
daging-daging terkoyak
getir amis darah memasung tengkuk hidung
suara mesin penghitung denyut jantung itu bertabrakan dengan leluasa haluan angin
mereka saling bertabrakan
membangkitkan lagi semangat yang sempat ingin bergegas
aku terdiam di pelosok jendela
sekujur tubuh tulisan itu, dibedah maknanya
penulis itu dikuliti rapuhnya sendiri
penulis itu dikuliti rapuhnya sendiri
Purwokerto, 21 Febuari 2017
—Dinie Wicaksani
Nak, siang itu, apabila kalian ingat, kita tengah sibuk membedah naskah yang terpilih. Lakon Moksa judulnya, ia bercerita tentang sebuah negeri penuh khayalan yang sedang dilanda polemik berkepanjangan. Naskah ini ialah naskah yang cukup bersejarah bagiku, ia sempat membawaku ke Kudus dalam acara Pekan Seni Mahasiswa Daerah Jawa Tengah. Bila kalian tahu, sebuah kebanggaan yang teramat sangat dapat bersua dan bercanda dengan para penulis naskah dari masing-masing kota. Satu yang aku pelajari, perjuangan untuk menuliskan ide maupun gagasan tidak hanya serta-merta dibatasi oleh waktu.
Menurutku, menulis juga merupakan suatu perjalanan panjang. Sama persis dengan proses yang sedang kita jalani ini. Kita tak akan pernah tahu apa yang ada di tikungan sebelum kita sampai pada tikungan itu. Kaum positivis selalu berkata bahwa penulis bebas menafsirkan apapun yang menjadi objek bagi tulisannya. Penulis mampu menciptakan suatu kebenaran tunggal akan apa yang ia tulis. Bahkan bila kalian tahu, kebenaran ini setara dengan dogma agama sekalipun. Dari sanalah aku berkata, Nak, bahwa menulis ialah bernafas. Dengan bernafas kita bisa menghidupkan sesuatu yang mati, dari sanalah kita dapat menuhankan diri kita. Setidaknya untuk tulisan dan alur cerita yang kita buat.
Roland Barthes, berkata bahwa penulis sedianya telah kehilangan nyawa ketika tulisan terlahir menjadi sebuah karya sastra. Ia mendefinisikan hal tersebut dalam bukunya The Death of Author. Dengan hal ini, pengarang akan mati dan digantikan oleh pembaca sehingga mereka bebas memafsirkan apa yang ada di dalam tulisan tersebut.
Demikianlah, apa yang aku pelajari selama ini. Barthes bahkan menjelaskan bahwa ketika penulis telah mati, teks serta seluruh kalimat yang terangkai telah terpisah oleh penulisnya.
Dan siang itu, Nak, aku telah dibunuh oleh tulisanku sendiri. Berbagai sayatan telah habis menghujam tubuhku. Aku telah dimatikan. Naskah Lakon Moksa itu kalian hisap habis daya maknanya, kalian runtutkan menjadi satu-kesatuan makna. Tiada pandang bulu. Pada awalnya, aku cukup sangsi, haruskah pembedahan naskah dilakukan? Lalu, alasan paling jelas yang akhirnya aku dapatkan ialah kita dapat mengetahui keresahan apa yang melatar-belakangi naskah ini sehingga dibuat oleh penulis. Apakah penulis mewakilkan keresahannya dalam tokoh-tokoh yang dibuatnya? Atau bahkan ia hanya melihat adanya sisi lain dalam pembuatan alur cerita, yang biasanya hanya berisikan artistik maupun diksi yang "sok kesastraan". Itulah jawaban yang dapat aku berikan, Nak. Setidaknya selain kepentingannya adalah meramu makna, dan menjadi sebuah kesepakatan tentang isi kenaskahannya (unsur instrinsik dan eksintriknya).