Langsung ke konten utama

Freedom?


Angin berhembus menjilat kulitmu dengan resah. Kau genggam pasir sekepal, lalu kau hamburkan ke udara. Berlari-larian menapaki jalanan berpasir. Mungkin ombaknya tengah surut, dan desau angin pun sedang landai. Matahari baru saja menenggelamkan dirinya, sinarnya merefleksi apik dilautan. Kau terus berlari, kemudian menari-nari. Wajahmu kini samar-samar, hanya terlihat seperti siluet tubuh yang ramping. Dengan rambut tergerai yang indah. Kau sulut api di rokokmu yang mengacung di bibir. Asap itu menguar kemana-mana. Tetiba kau teringat akan ejekan-ejekan teman-temanmu di kampus dulu, tentang pakaianmu yang aneh ataupun gayamu yang berbeda. Kau hanya memakai kaos serba hitam, dengan bungkus rokok menyembul di kantung celanamu. Serta memakai jaket kulit warna gelap, tak lupa anting dan lipstick warna hitam. Tak ada yang salah bagimu. Kau hanya penggemar warna hitam, bukan pengikut aliran sesat yang layak untuk dihujat. Kau hanya duka memadukan warna. Asap itu terbang ke udara, berhamburan ke langit. Kau ambil sebuah ranting yang ada di dekatmu, lalu kau goreskan sehuruf demi sehuruf di atas pasir. "Freedom" demikian kata yang bisa kau ucap. Kau tahu betul, bahwa kebebasan itu tak ada. Kebebasan itu hanya ilusi. Hidupmu terikat oleh suatu norma. Mungkin bagimu biasa bila lipstick hitam pekat menyapu bibirmu yang halus. Namun, mungkin bagi mereka tak begitu. Mereka menganggap bahwa kau ini berandalan. Menurutmu, kau hanya penikmat seni. Seni tata busana maksudnya. Kau bermaksud untuk berekspresi. Nah, kau pun tahu persis. Itulah tujuannya, ekspresi diri. Tak begitu lama, asap rokok itu habis dengan sendirinya. Kau melempar jauh-jauh puntung itu ke arah laut. Sekarang kau kembali berpikir soal seniman-seniman yang menjual karyanya untuk sejumput nasi. Ah, pikiranmu terlalu jauh. Kau juga akan melakukan hal yang sama, ketika baju yang kau buat diminati banyak butik. 
Tiba-tiba telepon genggamu berdering. Sebuah nama bertengger di layarnya. 

"Design baju yang Anda bagus. Saya ingin membelinya untuk saya produksi di butik saya. Pastinya dengan harga yang bagus." 

Sebuah pesan singkat terbuka olehmu. Kau mematung. Karyamu dihargai orang. Begitukah yang kau sebut ekspresi diri? Yang dapat dijual tuk membeli beras?
 Entahlah, asap rokok tadi telah sirna.

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...