Langsung ke konten utama

Selintingan Isi Kepala Yang Pecah [3]

udara dingin meruah
malam mulai ditumbuhi gerimis tak berkesudahan

bias cahaya berwarna-warni
jalanan sunyi seperti ujung kota

pyar!
bunyi apa itu?
tak ada sesiapa..
siapa yang gaduh sekali?
kepalamu sendiri

malamku ditertawai angin


Jalan Raya Puncak Pass, 18 Febuari 2017

Ada yang tak baik dari seluruh percakapan dalam otak ini. Sebentar lagi proses pentas ini akan dimulai, sudah kepalang janji aku kepada seluruh penduduk Lakon Moksa. Untuk mengumpulkan tubuh dan jiwanya menjadi satu pada tanggal 20 Febuari 2017. Itu berati dua hari lagi acara akan dimulai. Benar-benar ada yang salah dengan percakapan dalam kepala ini. Ia harus membebaskan dirinya dari segala rupa kecemasan. Ia harus mempersiapkan dirinya agar sanggup menghadapi apapun yang terjadi nantinya. Tidak lagi usaha tubuh yang harus selalu baik setiap saat, sehat setiap saat. Namun, pikiran pun demikian. Kau harus menjadi kepala dalam perjalanan panjang ini. Tiba-tiba sebulir air mata meneteskan dirinya, mampu atau tidak aku akan menghadapi perjalanan panjang ini dengan segala macam rintangan. Walaupun tiada yang dapat menyokong kerapuhan kaki ini, bahkan pada saatnya aku harus termenung berbicara pada dinding-dinding kamar ketika rasa lelahku menghadapi tim panggungku. Apa yang salah dengan percakapan di dalam travel itu? Tubuhku sebentar lagi akan sampai pada medan perangnya. Tak boleh ia menunjukan keresahannya di antara seluruh prajurit yang akan ia pimpin. Ketika mereka harus menapaki segala macam tebing keresahan, sengat mentari membakar kulit arinya hingga mereka kelelahan menahan dahaga. Otak banal! Ia tak seharusnya memikirkan hal-hal yang buruk macam itu. Seharusnya dalam kondisi seperti ini, ia mampu menyuguhkan segala rupa kebahagiaan ketika semuanya terlaksana dengan baik. Bukan lagi memikirkan bagaimana aku harus mengelola konflik yang memusingkan.
Tunggu! Penulis skeptis! Begitu banyakkah pikiran busukmu tentang dirimu sendiri? Kau mampu mengelola konflik dalam batinmu itu sebagai bagaian dari caramu mempersiapkan mental. Akan ada banyak hal yang harus kau lampaui sendirian pada ujungnya. Nikmati saja sisi gelap dalam tubuhmu, menjadi orang skeptis yang gemar menulis. Bila kau yakin, kau akan mendapatkan kebahagiaan yang kau tuju.

Dan lagi, malam itu, di dalam mobil travel menuju Purwokerto, aku kembali ditertawakan angin.

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...