Langsung ke konten utama

Batas Alegori [4]

tiada bisa dibungkus oleh sekepal tangan
untuk sepenggal pengetahuan 
dari kepala yang berbeda
beragam rupa
beragam rasa

alur pendakian sebuah penerkaan
dari sisi kiri hingga kanan kepala
melintasi batas alegori
imaji berkuasa

beda kepala
beda cara terka
beda isi


Purwokerto, 20 Febuari 2017

Mentari pagi menyambut sepasang bola mata dengan anggun. Ia memanaskan dirinya dari ujung kepalan langit. Menafkahi beberapa insan penebar rindu yang sedang sibuk memulai hari. Ada yang berbeda dengan hari ini, kicau burung menegaskan semangatnya. Berulang kali dahan-dahan melambaikan tubuhnya menyambut hari ini.
 Pukul satu siang nanti, tepat pada mentari mulai meredupkan diri. Seluruh tim kepanggungan akan berkumpul bersama, mereka akan mempresentasikan apa yang telah mereka baca. Bila kalian dapat mengingat, suasana Sekre pada waktu itu sangatlah berbeda. Seperti ada gelora dari semesta yang memuncak, membuat seluruh benda yang mati ikut bersemangat barangkali untuk menyambut perjalanan panjang yang akan dimulai. Senyum sumringah Pilari tak sanggup aku nikmati sendirian, seakan-akan dreamcatcher yang tergantung di atas dinding sekre pun melayangkan senyumnya ke udara. Semesta ikut menyamput gairah kita untuk memulai perjalanan panjang itu.

Tetiba, ruangan sekre penuh dan sesak. Udara menjadi sedikit. Seluruhnya berkumpul menjadi satu lingkaran yang tak terputus. Mengutarakan satu demi satu apa yang mereka pikirkan tentang naskah ini.
Dapat terlihat bagaimana dialegtika yang terjadi di antara sela-sela jeda kalimat yang mereka ucapkan. Aku tertawa kegelian, karena dapat dengan mudahnya aku menilai ada keraguan di antara bias mata mereka. Alegori yang ada dalam naskah ini cukuplah rumit. Dalam naskah Lakon Moksa ini, aku dapat mewakilkan gagasan apa yang tersembunyi dari balik susunan kalimat yang aku rangkai. Penggunaan diksi dan bahasanya cukup rumit. Bila kalian tahu, aku begitu terobsesi dengan penggunaan diksi yang klasik. Sungguh seksi. Maka, bersiap-siaplah kalian untuk melakukan sebuah penerkaan yang cukup bertendensi.
Mereka menceritakan apa yang mereka tahu, bukan apa yang mereka pikirkan. Itu bedanya. Dalam dunia sastra, penerkaan yang dilakukan oleh pembaca terhadap sebuah karya sastra mencirikan bagaimana tulisan yang dihadirkan dapat memancing pembaca untuk berimajinasi ataukah tidak. Aku teringat pada sebuah novel yang ditulis oleh sastrawan asal Amerika Serikat, Ernest Hemingway, dalam bukunya The Old Man and The Sea. Dalam bukunya, ia dapat menceritakan dengan gamblang bagaimana kisah hidupnya saat bertarung dengan sebuah ikan raksasa. Penyusunan setiap kalimatnya membuat pembaca bertanya-tanya apa yang terjadi setelah itu, lalu yang dihasilkan adalah penerkaan pada ending cerita. Itulah keunikan dari seni sastra, ia dapat memunculkan ironi secara langsung dalam aspek-aspek maupun konten yang diciptakan.
Contohnya, aku akan membuat sepenggal cerita di mana ada ironi di dalamnya.
"Aku mati dibunuh oleh lukisanku sendiri." Sepenggal cerita di sini bukan berati harus ada susunan paragraf melalui lima kalimat berkesinambungan seperti yang dikatakan oleh kaum-kaum formalis sastra, melainkan bagaimana kalimat ini dapat menceritakan pada pembaca bahwa ada peristiwa pembunuhan di dalamnya. Entah dilakukan karena memang lukisan itu secara gamblang berubah menjadi seorang yang bisa membunuh atau hanyalah secara simbolis. Nah, pada akhirnya alegori yang terkandung di dalamnya cukup jelas bahwa tokoh "aku" di sini tidak benar-benar mati dibunuh oleh lukisannya, karena dalam dunia nyata tak mungkin ada lukisan yang dapat membunuh si pembuatnya. Hal inilah yang kemudian menjadikan penafsiran yang lebih dalam dunia sastra.

Itu seninya, jadi wajar pada saat forum itu kalian mengutarakan apa yang kalian tahu. Toh apa yang kalian tahu ialah juga hasil dari proses berpikir. Sekarang yang jadi permasalahan ialah, bagaimana tulisan ini bisa menjadi tolak ukur keberhasilan pembaca dalam penafsirannya sendiri. Itulah sebab mengapa seorang penulis haruslah membaca seumur hidupnya, karena ia harus memposisikan dirinya menjadi kreator seni dan penikmatnya sekaligus.

Petang sudah khidmat. Satu yang ku pelajari dalam diskusi siang itu, penafsiran pembaca ialah kunci keberhasilan penyampaian pesan dalam sebuah karya sastra. Dan suatu kebanggaan yang luar biasa ketika karyamu dibaca oleh banyak orang dan setelah itu kau mendengarkan langsung penafsiran apa yang mereka tangkap dari tulisanmu. Semua penulis pastilah merasakan hal yang sama.




Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...