Langsung ke konten utama

Sebaris Kata Dari Ayah




Pekan lalu, seorang lelaki paruh baya menghampiriku. Rengkuhnya sangat ku rindukan, sentuhannya begitu menghangatkan. Tiada ragu dan penyesalan, ialah cinta paling pertama sejak tubuh perempuan ini memiliki kuasanya sendiri. Lelaki ini begitu mencintai, bukan hanya sebatas ucapan ataupun lakunya yang formalitas. Ia begitu ingin membahagiakan tubuh perempuanku, mengasihi bahkan tanpa imbalan yang berati. Sedari dini, pelukannya selalu dapat menjadi obat segala bentuk kegelisahan. Senyumnya sungguh mendamaikan, sama seperti senyum ibuku. Barisan kata mungkin tak mampu menjelaskan bagaimana kasihnya padaku, hingga kurasa begitu dikasihi. Membuatku merasa begitu sempurna dicintai oleh seorang lelaki. Ia selalu menungguku pulang kerumah dengan muka muram di malam hari. Terduduk diam hanya sembari tangannya menyatu dan kepalanya merunduk. Barangkali, ia sedang melayangkan doa ke udara. Hingga pada suatu ketika ia tertidur dengan telungkupan buku di dadanya. Kacamatanya masih bersandar di tulang hidungnya. Aku membuka pintu dengan perlahan, ia pun menyambutku dengan suka dan cita walau aku tahu ia cukup geram lantaran aku pulang larut malam. 
Begitu caranya mencintai, sangatlah mengesankan. Belum lagi waktu itu, di depan rumah terjadi sebuah kecelakaan mengerikan yang merenggut seorang korban. Ayah menungguku pulang sekolah di sebrang rumah selama seharian penuh, hanya untuk menemaniku menyebrang jalan. Ia takut sebuah mobil menabrak tubuhku, ucapnya. Kata ibuku, ia betul-betul menungguku seharian penuh. Membawa payung dan berdiri di tepi jalanan. Nyatanya, siang itu panas sekali dan sebetulnya ia tahu bahwa kepulangan sekolahku adalah pada waktu sore hari karena aku harus mengikuti kelas tambahan. Sesampainya di seberang rumah, aku benar-benar melihat lelaki itu dari kejauhan. Ia menggandeng erat tanganku lalu mengacungkan tangannya ke arah kanan dan kiri untuk menemaniku menyebrang jalan. Seringkali di waktu kecil, kesalahanku membuatnya geram dan bersedih. Lantas ia membentakku, dan pergi dari hadapanku. Lelehan air mata tak sanggup ku bendung kala itu, dan di malam hari ia mengetuk pintu kamarku dan membawakan sepiring nasi dengan lauk kesukaanku. Tiada yang sanggup menjelaskan betapa tulusnya ia. 
Ia selalu mengetahui bagaimana caranya membahagiakan orang yang ia kasihi. Hingga pada suatu ketika, keinginanku untuk memiliki telepon pintar bukan lagi menjadi rahasia. Waktu itu, aku ingin sekali ponsel apple berwarna emas. Lalu, upaya lelaki itu sungguh mengejutkan. Ku dapati sebuah ponsel apple dengan pengaman berwarna emas ada di dalam tas. Lalu ia berkata, maaf bapak ndak bisa belikan dini iphone 5s yang gold..sebagai gantinya bapak tambahi casing emas biar dini senang. Perempuan mana yang tak meleleh mendengar pernyataan itu? 
Ia selalu mengerti apa yang aku ingini, makanan apa yang aku suka dan tak suka, kebiasaan yang aku lakukan, hingga hewan apa yang aku takuti. 

Waktu beranjak tiada jeda. Kini ku rasa usiaku tak lagi remaja, dewasa sudahlah diriku. Menjelma menjadi perempuan dewasa yang waktunya memiliki lelaki mana yang sanggup mengasihi. Menjadi Dini yang dewasa, berkepala dua. Memiliki harapan-harapan yang tinggi serta ideologi diri. Bukan Dimpi kecil yang    selalu mencari di kolong kasur saat ayahnya tak ada di rumah. Atau pun bukan lagi Dimpi kecil yang selalu mendapatkan daging kepiting utuh tanpa harus membuka cangkangnya. Bukan lagi Dimpi kecil yang selalu bermain boneka sembari menemani ibunya menjahit baju tetangga. Serta bukan lagi Dimpi kecil yang berada dalam gendongan ayah yang tertawa melihat mobil-mobil di jalanan. Aku beranjak dewasa. 

Tiba-tiba, aku membaca tulisan ayah bertengger di hadapan mata. Demikianlah air mata meleleh dengan sendirinya. Sesaat kemudian, aku benar-benar merasa mencintainya. 


"Bila waktu bisa diputar mundur, rindu rasanya menggendong, memeluk dan mendekapmu erat-erat. Detak nadi jantung beradu melantunkan lagu kasih sayang yang indah dan merdu. Tapi waktu terus berjalan maju, tak terasa kau menjadi seorang putri yang menawan. Habis sudah masa kecilmu yang begitu mengesankanku. Lenyap dan hilang ditelan waktu. Sekarang kau beranjak dewasa begitu kau sangat mempesonaku, takjub melihatmu yang begitu cerdas dalam pengetahuanmu akan arti sebuah kehidupan. Perjalanan waktu yang sudah kita lalui suka dan duka kita jalani bersama menjadi kenangan yang sulit dilupakan. Maafkan aku, Anakku,  akan kekhilafanku.
Tetapu aku sadar waktu harus terus maju, berbekal kebersihan dan ketulusan hati serta jauh dari saling menyakiti, bersama kita songsong hari depan yg penuh harapan. 
Satu hati satu jiwa dan satu tujuan menggapai masa depan yang gilang gemilang. 
Semoga Tuhan pencipta alam semesta dan segala kehidupan menyertai dan melindungi perjalanan kita menggapai cita-cita. Amin!"



Tulisan di atas ialah betul-betul tulisan dari ayah, lelaki yang menjadi patron pencarian pasangan hidup bagiku kelak. Terimakasih ayahanda atas semuanya! Barisan kata tak akan mampu menjelaskan betapa bersyukurnya diriku mengenalmu. Terimakasih telah memberi kebebasan. Terimakasih telah mengajariku arti kebebasan.


Purwokerto, 12 Januari 2017

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...