Langsung ke konten utama

Kama Dan Talun



Tubuh perempuanku mulai beranjak dewasa.
Tiada lagi masa kanak-kanak penuh manja. Berlenggak-lenggok dengan gaun buatan ibu serta melengkungkan garis bibir di depan cermin lusuh kamar ibu. Tiada lagi cubitan-cubitan gemas pada pipi, maupun nyanyian pengiring tidur di malam hari. 
Aku dapat dengan jelas melihat pertumbuhan itu secara berkala. Mulai dari rambut yang terus memanjang, lembut dan halus. Ia tumbuh menggelombangkan dirinya ke lantai, sama persis seperti pemeran telenovela pada zamannya. Dadaku tumbuh membusung, paha serta panggulku sintal dan padat. Menjadi seorang perempuan sejati yang siap meneruskan pertumbuhan anak dan cucunya kelak.

Tak terasa, usia ini merambah pada kepala dua. Ia terus berganti setiap tahunnya. Bukan hanya bentuk fisik yang kurasa berubah. Namun, pola pemikiran maupun emosi jiwa yang mulai mematangkan dirinya. Kematangan itu kemudian merambah pada kejelasan-kejelasan setiap rasa yang ku miliki. Tiada satu kata pun yang sanggup menjelaskan keberadaan rasa ini. Berbeda dengan rasa-rasa konvensional yang dapat dijelaskan dengan indera perasa, yaitu lidah. Rasa ini kemudian tak mampu menerjemahkan bagaimana bentuk serta tekstur dirinya sendiri. Serta, yang ku tahu banyak orang menyebutnya cinta. 
Rasa adanya ingin memiliki seseorang lawan jenis yang entah dari mana indikatornya. Kepemilihan itu semena-mena tanpa dapat menjelaskan bagaimana parameternya. Ingin memiliki, kecemburuan, lalu berbuah pada rela melakukan apapun demi kebahagiaanya. Sudahkah kalian merasakan hal yang sama? Aku pernah merasakan hal itu. Puncaknya, setiap kali melihatnya jantung  berdebar tiada rupa. Darah segar ini seperti mengalir deras, dan hangat. Senyumnya memabukkan. Terus dan terus membahagiakan. Hingga pada ujungnya, bila inginnya tak tercapai. Aku meradang penuh penyesalan. Rasa itu hancur bukan kepalang. Remuk dan redam, orang menyebutnya patah hati. Sebuah kepenolakan terkadang sungguh menyakitkan. Bila telah terjadi, ia menyisakan luka yang dalam. Ia merubah tatanan pola pikir maupun kematangan jiwa yang mana mendefinisikan sebuah kedewasaan diri.
Berbicara demikian, aku sering mendengarkan cerita dari banyak kerabat. Bagaimana kehidupan percintaan mereka sebegitu pelik dan rumitnya, sama persis seperti FTV maupun kisah-kisah romansa lainnya. Memasuki usia yang tak lagi remaja, membuatku semakin mengerti bagaiamana berlaku layaknya perempuan dewasa. Maksudku, belajar demikian. Memiliki kuasa atas pemberlakuan diriku sendiri, maupun sepantasnya yang memperjuangkan perempuan selagi ia mencintai tubuh perempuannya. Cerita-cerita itu kemudian membinasakan pola pikir yang sedari dulu ditumbuh-tanamkan. 
Tak lain ialah soal seks. Suatu topik yang tabu barangkali. Namun, topik ini kerap kali menjadi salah satu trending pada masa "dewasa" ini. Perempuan kerap kali memiliki subordinasi yang tinggi. Mereka menjadi peluang yang banyak bagi lelaki atas pemenuhan hasrat berahinya. Begitu yang aku dapat simpulkan dari setiap cerita mereka. Barangkali, mereka belum mampu menjelaskan manakah bagian tubuh yang mereka cintai. Atau salah satu bentuk cara mencintai ketika pasangan mereka memintanya. Tiada yang dapat dijelaskan soal itu, terkecuali pola pikir si perempuan itu sendiri.

Persoalan perempuan yang kerap dijadikan sebagai second-sex ini pula yang baru-baru ini membuatku belajar bagiamana sebetulnya "perempuan masa kini". Beberapa buku telah ku lampaui kata-katanya. Mereka memperjuangkan hak-hak perempuan yang dianggap dilecehkan. Baik secara hak berpendapat, hak hidup, bahkan hak untuk menghormati tubuh perempuannya sendiri. Kaum-kaum feminis ini kemudian merambahkan dirinya menjadi suatu kekuatan baru memerangi dominasi patriaki yang ada. Di Indonesia sendiri, budaya subordinasi perempuan menjelaskan bagaimana perempuan merupakan sebuah objek tanpa subjektifitas yang jelas. Begitu yang ku tahu dalam seksualitas bahkan di tanah Jawa. Perempuan kehilangan suaranya untuk mengambil keputusan apabila telah dipinang oleh suaminya, yang menjadi kewajibannya ialah hanya urusan seks, dapur, serta urusan rumah tangga saja. Hal tersebut kemudian merambah dan membudaya. Keberadaan feminis ini memberikan jalan baru bagi para perempuan atas gerakannya yang membuat perempuan memiliki suaranya sendiri. Mempertahankan kehormatannya sebagai ibu untuk anak-anaknya, serta nenek bagi cucu-cucunya. Mereka berjuang melawan kekerasaan seksual maupun ketimpangan-ketimpangan gender yang ada. 

Lalu apakah yang menjadi permasalahan terkait kekerasan seksual yang dialami perempuan dalam hubungannya dengan lawan jenis? Masihkah keperawanan menjadi persoalan yang relevan?

Tubuh perempuan ialah anugerah yang amerta. Mereka mendefinisikan sebuah perkembang-biakan generasi yang baru. Mereka memiliki rahim sebagai tempat bertumbuh. Memiliki air susu alami yang penuh nutrisi. Per-empu-an memberikan pendidikan dasar yang utama bagi penciptaan pola pikir awal setiap anak-anak mereka. Menjadi tangan pertama yang membelai tubuh sebelum sexism memberikan alur penyentuhan tubuh. Begitulah sekiranya penjelasan estetis menurutku. Setelah penyatuan peran sosial antara perempuan dan laki-laki terjadi melalui sebuah hubungan. Demikianlah barangkali persoalan-persoalan kian pelik. Legitimasi sebuah hubungan melalui pernikahan yang legal menjadi salah satu wujud pasti bahwa terukurnya ikatan rasa cinta. Legitimasi tersebut menjadi budaya yang relevan atas dasar agama serta norma yang berkembang di masyarakat. Legitimasi tersebut hadir kemudian merobek batasan yang tidak diperbolehka bagi pasangan yang belum terlegitimasi. Lalu, bila batasan tersebut dilakukan oleh pasangan yang belum terlegitimasi dianggap sebagai penyimpangan. Salah satunya ialah tentu hubungan seksual. Hal tersebut marak dan menjadi persoalan yang terus terjadi. Bila seorang perempuan kehilangan virginitasnya sebelum menikah maka kehormatan dirinya hilang begitu saja. Karena dianggap tidak dapat menjaga dengan baik. Lalu? Bagaimana dengan si laki-laki? Kerap kali mereka selalu ingin mendapatkan yang virgin, sebagai patron perilaku baik seorang isteri. Tidak adil! Walaupun adil memiliki porsinya masing-masing, pola pikir demikianlah yang menciderai mental serta psikologis perempuan Indonesia masa kini. 

Dalam tulisan ini, aku tak bermaksud untuk menghakimi siapapun. Pemikiran-pemikiran ini terbentuk dari latar belakang yang berbagai macam. Sedikit yang dapat ku katakan, bahwa perempuan akan terus memiliki kehormatan yang besar. Bahkan seorang perempuan yang dilacurkan (aku tak akan pernah menyebutnya pelacur atau melacurkan diri, sebab tiada satupun perempuan yang rela menjual dirinya) sekalipun memiliki kehormatan yang besarnya telak.  Mereka memiliki tanggung jawab yang besar melalui rahimnya untuk meneruskan kehidupan. Menumbuhkan seseorang dua orang yang akan melanjutkan peradaban maupun mendidik anak-anak melalui air susu dan belaiannya. Setiap perempuan memiliki relasi kuasa atas tubuhnya masing-masing, memiliki pilihannya masing-masing. Tiada yang dapat menurunkan derajat kehormatan seorang perempuan hanya atas dasar keperawanan yang terenggut. Kuasa tubuh itu kemudian mendefinisikan bagaimana pola pikir seksisme seorang perempuan di hadapan laki-laki. Kembali lagi, setiap perempuan tentu akan berpikir bagaimana caranya membela kaumnya. Mereka dapat serta merta disebut sebagai feminis, namun, setidaknya pembelaan tubuhnya atas kuasa laki-laki dengan dominasinya ialah yang harus dipertaruhkan.


Berbanggalah menjadi perempuan!

Nah! Satu lagi yang ingin aku katakan perihal percintaan. 

Perihal mencintai, jangan takut patah hati karena sebuah penolakan. Mencintai ialah bukanlah sebuah perkara mudah namun juga tidak begitu sulit. Mencintai dengan mudah membutuhkan rasa ikhlas tanpa rasa ingin memiliki, mencintailah dengan diam dan dalam rengkuhan doa. Bicara ialah soal mudah! Memang! 
Setidaknya apa yang aku tulis ialah bentuk pengaktualisasi apa yang aku alami. Menjadi perempuan satu-satunya bagi laki-laki yang kita cintai ialah membahagiakan. Tiada yang ingin tergantikan, karena setelah terganti ia akan terlupakan. Begitulah roda romansa.   Banyak penyair yang berkata, bahwa mencintai seseorang dalam diam ialah salah karena berati terlalu mencintai dirinya sendiri. Namun, menurutku, bila Tuhan ialah logika mistik. Tiada lagi yang sanggup dipanjatkan melalui do'a menuju udara. Udara mana lagi yang tidak akan dihirup oleh orang yang kita cintai? Biarlah doa itu menyatu dengan udara dan terhirup melalui oksigen. Biarkan orang yang kita cintai merasakan haknya untuk hidup dengan bahagia.

Hahahahaha!
Hiduplah dengan sajak-sajak kepatahan hati dalam diam lainnya dalam blog ini.

Salam!


Bogor, 24 Januari 2017

Dinie Wicaksani




Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...