Tubuh perempuanku mulai beranjak dewasa.
Tiada lagi masa kanak-kanak penuh manja. Berlenggak-lenggok dengan gaun buatan ibu serta melengkungkan garis bibir di depan cermin lusuh kamar ibu. Tiada lagi cubitan-cubitan gemas pada pipi, maupun nyanyian pengiring tidur di malam hari.
Aku dapat dengan jelas melihat pertumbuhan itu secara berkala. Mulai dari rambut yang terus memanjang, lembut dan halus. Ia tumbuh menggelombangkan dirinya ke lantai, sama persis seperti pemeran telenovela pada zamannya. Dadaku tumbuh membusung, paha serta panggulku sintal dan padat. Menjadi seorang perempuan sejati yang siap meneruskan pertumbuhan anak dan cucunya kelak.
Tak terasa, usia ini merambah pada kepala dua. Ia terus berganti setiap tahunnya. Bukan hanya bentuk fisik yang kurasa berubah. Namun, pola pemikiran maupun emosi jiwa yang mulai mematangkan dirinya. Kematangan itu kemudian merambah pada kejelasan-kejelasan setiap rasa yang ku miliki. Tiada satu kata pun yang sanggup menjelaskan keberadaan rasa ini. Berbeda dengan rasa-rasa konvensional yang dapat dijelaskan dengan indera perasa, yaitu lidah. Rasa ini kemudian tak mampu menerjemahkan bagaimana bentuk serta tekstur dirinya sendiri. Serta, yang ku tahu banyak orang menyebutnya cinta.
Rasa adanya ingin memiliki seseorang lawan jenis yang entah dari mana indikatornya. Kepemilihan itu semena-mena tanpa dapat menjelaskan bagaimana parameternya. Ingin memiliki, kecemburuan, lalu berbuah pada rela melakukan apapun demi kebahagiaanya. Sudahkah kalian merasakan hal yang sama? Aku pernah merasakan hal itu. Puncaknya, setiap kali melihatnya jantung berdebar tiada rupa. Darah segar ini seperti mengalir deras, dan hangat. Senyumnya memabukkan. Terus dan terus membahagiakan. Hingga pada ujungnya, bila inginnya tak tercapai. Aku meradang penuh penyesalan. Rasa itu hancur bukan kepalang. Remuk dan redam, orang menyebutnya patah hati. Sebuah kepenolakan terkadang sungguh menyakitkan. Bila telah terjadi, ia menyisakan luka yang dalam. Ia merubah tatanan pola pikir maupun kematangan jiwa yang mana mendefinisikan sebuah kedewasaan diri.
Berbicara demikian, aku sering mendengarkan cerita dari banyak kerabat. Bagaimana kehidupan percintaan mereka sebegitu pelik dan rumitnya, sama persis seperti FTV maupun kisah-kisah romansa lainnya. Memasuki usia yang tak lagi remaja, membuatku semakin mengerti bagaiamana berlaku layaknya perempuan dewasa. Maksudku, belajar demikian. Memiliki kuasa atas pemberlakuan diriku sendiri, maupun sepantasnya yang memperjuangkan perempuan selagi ia mencintai tubuh perempuannya. Cerita-cerita itu kemudian membinasakan pola pikir yang sedari dulu ditumbuh-tanamkan.
Tak lain ialah soal seks. Suatu topik yang tabu barangkali. Namun, topik ini kerap kali menjadi salah satu trending pada masa "dewasa" ini. Perempuan kerap kali memiliki subordinasi yang tinggi. Mereka menjadi peluang yang banyak bagi lelaki atas pemenuhan hasrat berahinya. Begitu yang aku dapat simpulkan dari setiap cerita mereka. Barangkali, mereka belum mampu menjelaskan manakah bagian tubuh yang mereka cintai. Atau salah satu bentuk cara mencintai ketika pasangan mereka memintanya. Tiada yang dapat dijelaskan soal itu, terkecuali pola pikir si perempuan itu sendiri.
Persoalan perempuan yang kerap dijadikan sebagai second-sex ini pula yang baru-baru ini membuatku belajar bagiamana sebetulnya "perempuan masa kini". Beberapa buku telah ku lampaui kata-katanya. Mereka memperjuangkan hak-hak perempuan yang dianggap dilecehkan. Baik secara hak berpendapat, hak hidup, bahkan hak untuk menghormati tubuh perempuannya sendiri. Kaum-kaum feminis ini kemudian merambahkan dirinya menjadi suatu kekuatan baru memerangi dominasi patriaki yang ada. Di Indonesia sendiri, budaya subordinasi perempuan menjelaskan bagaimana perempuan merupakan sebuah objek tanpa subjektifitas yang jelas. Begitu yang ku tahu dalam seksualitas bahkan di tanah Jawa. Perempuan kehilangan suaranya untuk mengambil keputusan apabila telah dipinang oleh suaminya, yang menjadi kewajibannya ialah hanya urusan seks, dapur, serta urusan rumah tangga saja. Hal tersebut kemudian merambah dan membudaya. Keberadaan feminis ini memberikan jalan baru bagi para perempuan atas gerakannya yang membuat perempuan memiliki suaranya sendiri. Mempertahankan kehormatannya sebagai ibu untuk anak-anaknya, serta nenek bagi cucu-cucunya. Mereka berjuang melawan kekerasaan seksual maupun ketimpangan-ketimpangan gender yang ada.
Lalu apakah yang menjadi permasalahan terkait kekerasan seksual yang dialami perempuan dalam hubungannya dengan lawan jenis? Masihkah keperawanan menjadi persoalan yang relevan?
Tubuh perempuan ialah anugerah yang amerta. Mereka mendefinisikan sebuah perkembang-biakan generasi yang baru. Mereka memiliki rahim sebagai tempat bertumbuh. Memiliki air susu alami yang penuh nutrisi. Per-empu-an memberikan pendidikan dasar yang utama bagi penciptaan pola pikir awal setiap anak-anak mereka. Menjadi tangan pertama yang membelai tubuh sebelum sexism memberikan alur penyentuhan tubuh. Begitulah sekiranya penjelasan estetis menurutku. Setelah penyatuan peran sosial antara perempuan dan laki-laki terjadi melalui sebuah hubungan. Demikianlah barangkali persoalan-persoalan kian pelik. Legitimasi sebuah hubungan melalui pernikahan yang legal menjadi salah satu wujud pasti bahwa terukurnya ikatan rasa cinta. Legitimasi tersebut menjadi budaya yang relevan atas dasar agama serta norma yang berkembang di masyarakat. Legitimasi tersebut hadir kemudian merobek batasan yang tidak diperbolehka bagi pasangan yang belum terlegitimasi. Lalu, bila batasan tersebut dilakukan oleh pasangan yang belum terlegitimasi dianggap sebagai penyimpangan. Salah satunya ialah tentu hubungan seksual. Hal tersebut marak dan menjadi persoalan yang terus terjadi. Bila seorang perempuan kehilangan virginitasnya sebelum menikah maka kehormatan dirinya hilang begitu saja. Karena dianggap tidak dapat menjaga dengan baik. Lalu? Bagaimana dengan si laki-laki? Kerap kali mereka selalu ingin mendapatkan yang virgin, sebagai patron perilaku baik seorang isteri. Tidak adil! Walaupun adil memiliki porsinya masing-masing, pola pikir demikianlah yang menciderai mental serta psikologis perempuan Indonesia masa kini.
Dalam tulisan ini, aku tak bermaksud untuk menghakimi siapapun. Pemikiran-pemikiran ini terbentuk dari latar belakang yang berbagai macam. Sedikit yang dapat ku katakan, bahwa perempuan akan terus memiliki kehormatan yang besar. Bahkan seorang perempuan yang dilacurkan (aku tak akan pernah menyebutnya pelacur atau melacurkan diri, sebab tiada satupun perempuan yang rela menjual dirinya) sekalipun memiliki kehormatan yang besarnya telak. Mereka memiliki tanggung jawab yang besar melalui rahimnya untuk meneruskan kehidupan. Menumbuhkan seseorang dua orang yang akan melanjutkan peradaban maupun mendidik anak-anak melalui air susu dan belaiannya. Setiap perempuan memiliki relasi kuasa atas tubuhnya masing-masing, memiliki pilihannya masing-masing. Tiada yang dapat menurunkan derajat kehormatan seorang perempuan hanya atas dasar keperawanan yang terenggut. Kuasa tubuh itu kemudian mendefinisikan bagaimana pola pikir seksisme seorang perempuan di hadapan laki-laki. Kembali lagi, setiap perempuan tentu akan berpikir bagaimana caranya membela kaumnya. Mereka dapat serta merta disebut sebagai feminis, namun, setidaknya pembelaan tubuhnya atas kuasa laki-laki dengan dominasinya ialah yang harus dipertaruhkan.
Berbanggalah menjadi perempuan!
Nah! Satu lagi yang ingin aku katakan perihal percintaan.
Perihal mencintai, jangan takut patah hati karena sebuah penolakan. Mencintai ialah bukanlah sebuah perkara mudah namun juga tidak begitu sulit. Mencintai dengan mudah membutuhkan rasa ikhlas tanpa rasa ingin memiliki, mencintailah dengan diam dan dalam rengkuhan doa. Bicara ialah soal mudah! Memang!
Setidaknya apa yang aku tulis ialah bentuk pengaktualisasi apa yang aku alami. Menjadi perempuan satu-satunya bagi laki-laki yang kita cintai ialah membahagiakan. Tiada yang ingin tergantikan, karena setelah terganti ia akan terlupakan. Begitulah roda romansa. Banyak penyair yang berkata, bahwa mencintai seseorang dalam diam ialah salah karena berati terlalu mencintai dirinya sendiri. Namun, menurutku, bila Tuhan ialah logika mistik. Tiada lagi yang sanggup dipanjatkan melalui do'a menuju udara. Udara mana lagi yang tidak akan dihirup oleh orang yang kita cintai? Biarlah doa itu menyatu dengan udara dan terhirup melalui oksigen. Biarkan orang yang kita cintai merasakan haknya untuk hidup dengan bahagia.
Hahahahaha!
Hiduplah dengan sajak-sajak kepatahan hati dalam diam lainnya dalam blog ini.
Salam!
Bogor, 24 Januari 2017
Dinie Wicaksani