Langsung ke konten utama

Patung Sentini


Ilustrated put on google.

Tubuhku diremas-remah. Sejadinya. Nafasku terengah-engah seperti terhimpit sebuah benda yang berat. Tangannya terus menepuk-nepuk tubuhku. Sesekali sebuah belati tajam menggoreskan lurik yang indah di atas tubuhku. Tangannya seperti becek dan basah, beberapa tetes lumpur mengalir hebat dari tangannya. Sebuah patung sepertiku tak layak untuk berucap. Tugasku hanya menikmati perlakuan majikanku sebagaimana ia akan membentuk tubuhku. Seperti sedianya patung yang lain, kami para patung ingin sekali berucap. Berteriak. Menangis. Namun, kami tak bisa. Jangankan untuk menangis, untuk berucap pun kami harus menunggu majikan kami membuatkan mulut.
Tangannya terus bergerilya menyusuri tiap jengkal yang ada di tubuhku. Tonjolan dada yang indah, serta pahaku yang sintal. Sebuah patung perempuan agaknya ku akan dibuatnya. Percikan-percikan air membasahi dinding tubuhku. Tangannya terus mengaduk-aduk campuran gypsum dan semen itu lalu menumpuknya tepat di atas tubuhku. Aku semakin gelisah. Apakah seraya benar ia akan membuatku menjadi sebuah patung perempuan tanpa kepala? Seperti temanku yang serupa, ia tak memiliki kepala. Jangankan untuk berucap dan melihat dunia sekitar, kepala saja ia tak punya. Majikanku hanya mengeksploitasi bagian indah dari sosok perempuan saja. Manusiawi memang. Namun, kami hanyalah sebuah patung. Pola pikirnya entah kemana, menjadikan kami karya seni terindahnya namun tanpa memperhatikan perasaan kami. Kami tak bermaksud banyak menuntut. Seperti banyaknya orang yang mengolok-olok industri tetapi tetap membutuhkan produknya pula untuk mereka konsumsi. Sungguh analogi yang sensitif bagi sebagian orang.
 Seringkali aku ingin meronta, mengapa diriku terlahir menjadi sebuah patung. Aku dapat melihat berapa juta peristiwa tanpa dapat berkomentar apa-apa. Benar saja, seperti ketika majikanku dengan susah payah menyusun strategi untuk menyembunyikan kelakuan busuknya menggelapkan uang untuk membeli gypsum. Jiwa ku geram. Senyumku bengis. Namun, lagi-lagi aku hanyalah sebuah patung. Yang diam dan merepresentasikan ekspresi diri dari majikanku. Akankah esok aku dapat berucap? Meluapkan segala rasa dengan bahasa dan tata kalimat yang indah. Seperti kebanyakan orasi kampanye partai politik di negeri patung. Bahasa dan sintaksisnya begitu indah, membuat jutaan patung seperti kami terpana dan memilihnya.
Salah satu teman bercerita. Ia menangis sejadinya. Ketika ditempatkan pada sebuah ruang kelas berpendingin yang nyaman. Bukan karena kedinginan atau ruhnya yang tak suka terhadap tempat itu, namun beberapa manusia tengah menyusun pembukuan yang salah. Mereka ialah oknum-oknum pendidikan, serunya. Entah dengan maksud apa, sebuah patung seperti temanku pun ikut merasa begitu dasyatnya arti sebuah keegoisan. Mungkin, yang ia lihat bukanlah yang seperti ia bayangkan.
Dan lagi, ia hanyalah sebuah patung. Melihat tanpa dapat berkomentar apa-apa.
Beberapa tumpukan gypsum mulai menggunung tepat pada bagian atas tubuhku. Tampaknya majikanku akan membuatkanku sebuah kepala. Dengan rambut panjang yang indah, serta bibir yang cantik. Persis seperti impianku pada masa hidup patung sebelumnya. Aku ingin menjadi patung yang dapat berucap. Memperjuangkan apa yang aku inginkan. Mengkritisi apa yang telah ku lihat. Terus terang saja, aku bingung dengan jalan pikiran orang-orang seperti majikanku. Ia begitu sempurna. Memiliki tangan yang hangat, kaki yang dapat berjalan, mulut yang dapat berucap, hingga rambut yang dapat dibelai. Namun, mereka hanya mengikuti apa yang sudah menjadi budaya. Seperti pada masa sebelum aku berenkarnasi menjadi patung yang sekarang, ia pernah menjualku pada seorang eksportir kelapa sawit diperbatasan Kalimantan. Dengan pastinya harga yang selangit, dulu kira idealisme seniman seperti majikanku sangatlah tinggi. Namun, tetap saja. Ia kembali ingin mendapatkan pundi-pundi rupiah. Akankah setiap orang mengalami penipisan idealisme? Bukankah majikanku menciptakan tubuhku hanyalah sebagai media ekspresi? Namun, agaknya penilaianku salah. Sebuah karya seni membutuhkan pula apresiasi. Tunggu, apalah arti sebuah apresiasi bila dinilai dari nominal rupiah sahaja. Apresiasi itu agaknya seperti tambahan pelengkap sebuah karya seni. Mungkin, dunia modern menjadikan harga yang selangit sebagai bentuk apresiasi yang baik. Siapa sangka penalaranku sebagai karya seni patung salah? Itulah, sebabnya aku hanyalah sebuah patung. Aku melihat tanpa berkomentar apa-apa. Aku pun memiliki idealisme sendiri-sendiri, setiap patung pastilah memiliki idealismenya masing-masing. Namun, yang menjadi pembeda ialah seberapa besar idealis tersebut? O, apakah seperti para musisi punk atau hippies yang membawa gerakannya sendiri-sendiri dalam musikalitasnya. Pikiranku semakin menceracau, entah karena memang khayalanku yang terlalu liar atau semacam hasrat untuk mengkritisi.
Majikanku terus mengelus lembut tubuhku menggunakan butsir andalannya. Beberapa luka kemudian menyeruak, pedihnya sedikit menyita perhatian. Namun, sampailah aku pada sentuhan terakhir majikanku. Menjadikan ku sebuah patung perempuan dengan rambut yang indah. Tergelung rapih di atas kepala.
Malam ini, perapian menunggu untuk mengeringkan tubuhku. Baranya panas, membuat kulitku mengelupas dan mongering seketika. Inilah sisi terberat menjadi sebuah patung. Kami harus dibentuk oleh lingkungan dan majikan kami sendiri. Kami adalah representasi dari apa yang lingkungan kami lakukan. Akankah kemurnian hidup kami patut dipertanyakan? Sebagai manusia, apakah kalian pernah berpikir bahwa sejatinya diri kalian ialah apa yang lingkungan kalian ajarkan pada kalian? Sebagai manusia pula, akankah titik idealisme dinilai dari seberapa kuat seseorang untuk mempertahankan apa yang telah ia pegang teguh? Tanpa berpikir terus kedepan dan menyesuaikan diri. Entahlah, perapian ini terus membakar semangatku. Sebentar lagi, lahirlah aku sebagai patung yang baru. Menjadi tempat penerima sanjung dari hasil karya majikanku.
Seberkas sinar seperti terbang ke ruang tengah, ialah tempat di mana aku disimpan. Ku harap itulah sebuah peri. Hidupkan mulutku oh peri, sahutku sekenanya. Cahaya itu seperti mendongak melihat tengkuk leherku. Tetiba, sebuah suara datang menggelegar. Cahaya disekelilingku meredup, cahaya peri itu perlahan membesar menyilaukan mata.
“Ucapkan apa yang ingin kau ucap, Sentini.”
Seketika, mulutku dapat bergetar. Mengeluarkan bunyi. Ya, aku dapat berucap. Aku dapat berteriak. Bernyanyi. Menangis, serta meluapkan emosi yang selama ini ku pendam. Suara itu terdengar hingga kuping majikanku, sekilas setelah itu ia menyusuri di mana letak suara khas perempuan paruh baya itu. Ia kelimpungan. Tangannya geram.
“Aku sudah dapat berbicara, Pak Tua. Aku tahu semuanya yang telah kau lakukan.” Ucapku seraya memandanginya. Ia menatapku bengis. Sesaat kemudian ia ambil sebilah martil dan menghancurkan tubuhku begitu saja. Tubuhku hancur seketika. Dan lagi, ialah aku, sebuah patung.




***
Pembaca yang budiman, terimakasih telah membaca tulisan saya kali ini. Tulisan ini ialah cerpen yang bercerita tentang hasrat sebuah patung perempuan bernama Sentini. Seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya mencoba untuk menaikan konflik secara perlahan. Sentini ialah sebuah tokoh fiksi paling unik yang pernah saya ciptakan. Sosoknya yang begitu nyata menjelma kedalam sebuah patung. Sebenarnya, sosok Sentini merefleksi kehidupan saya yang tengah mendalami seni dan estetika. Di dalamnya saya juga menyelipkan beberapa kalimat sindiran akan post-modernisme, di mana banyak sekali orang-orang yang mengkritik bagaimana industri sebagai penggerak kapitalisme mengubah sisi kebutuhan menjadi keinginan para pelaku ekonominya. Namun, mereka tetaplah membutuhkan produknya. Saya juga mencoba untuk menyelipkan bagaimana kegunaan idealisme seorang seniman sangatlah berpengaruh pada kualitas eksternal hasil karya seninya. Tokoh Pak Tua saya gambarkan ialah seorang seniman pembuat patung yang namanya tengah naik daun, hingga ia dapat menjual sosok Sentini yang lama (sebelum merenkarnasikan ruhnya pada patung yang baru) kepada seorang konglomerat minyak. Dengan nominal rupiah yang selangit, ia tergiur untuk menjual Sentini. Selanjutnya, Sentini ialah sosok pengamat lingkungan sekitarnya, ia diciptakan hanya untuk melihat keadaan sekitarnya tanpa dapat berkomentar apa-apa. Banyak isu sosial yang seolah menggemparkan tanah air, seperti LGBT, gender, kemiskinan,  ataupun isu yang lainnya. Kebanyakan orang yang mengerti menjadikan topik di atas menjadi sebagai buah bibir paling hangat. Namun, tak ada langkah yang pasti bagaimana konklusi dari pembicaraan mereka sebab itulah tadi, bahwasannya kritik sosial sebagai gerakan penyambung massa hanyalah sebuah propaganda. Lalu, mengapa saya merepresentasikan melalui sebuah patung? Ya, patung ialah sebuah karya seni rupa. Karya seni hanyalah mempropaganda secara tidak langsung dari aksi kritis masyarakat. Akan sebuah budaya, ataupun sebuah sistem yang berjalan. Lalu mengapa pula saya gambarkan sebuah patung perempuan yang ingin berucap? Kembali lagi, saya masih menyukai tokoh fiksi perempuan dengan sejuta keunikannya. Sentini ialah tokoh fiksi berikutnya yang saya ciptakan.

Demikianlah saya mencoba mencurahkan apa yang menjadi pertanyaan dalam jiwa saya, tentunya tetap dengan tulisan. Yang saya terus lakukan ialah terus belajar dan menikmati kebodohan saya. Terimakasih telah membaca tulisan saya kali ini, semoga memberikan sisi kebaikan yang bermanfaat. Apresiasi tetaplah sebagai bonus, bahkan nominal rupiah pun terkadang menjadi sebuah apresiasi bagi para seniman. Dari apresiasi melalui nominal rupiah tersebut, profesi seniman akhirnya bekerja secara profesional. Terimakasih. Salam!

Purwokerto, 14 Maret 2016
Dinie Wicaksani

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...