Langsung ke konten utama

Goresan Tak Selesai


Penantianku mungkin akan berujung sebuah entah. Dari berjuta bias kata-kata, mungkin aku akan menang. Menang untuk diriku sendiri. Aku terus belajar, dan menikmati kebodohanku. Menjadi yang terus bodoh hingga merasa aku harus tahu. Jutaan kata dan teori masih sempat aku pelajari. Aku menikmati segalanya. Pada awalnya, aku menulis hanya untuk mengerti seberapa besar kebodohanku. Seberapa penting tulisan itu mengubah seseorang. Dan kini, aku mulai mengerti. Seberapa berartikah diriku atas diriku sendiri?
Aku terperanjak..
Saat bahasa melilit tubuhku.
Memaksaku untuk mengerti tanpa pernah ku ingini
Penantian itu berujung akan jawaban. 
Namun, langkahku terseok.
Aku tergelincir akan kebingunganku sendiri. 

Jemariku mengudara. Tanganku menari-nari sekenanya. Entah berapa juta orang menertawakan kebodohanku itu. Aku tak peduli. Mereka mungkin tak akan pernah tahu, seberapa berharganya tulisan itu dimataku. Yang mereka tahu hanyalah kegagalanku menjadikannya sebuah buku. Sungguh, begitu menyakitkan.
Aku bukan seorang penulis yang baik. Yang aku bisa hanyalah belajar dan belajar. 
Memahami seluk beluk sastra, susastra, semiotik, semantik, dan berjuta tautan linguistik lainnya. 
Kebodohanku ini terus membuat langkahku menyeok. 
Semakin ku belajar, idealis itu akan terus memudar. 
Terlintas beberapa makna yang tersirat dari jutaan kata yang kurangkai.

"Pada lini masa, seseorang berjalan tanpa henti. Hingga dihentikan hujan."

Demikian sebutku dalam buku yang gagal ku terbitkan. Begitu memalukan. Menyakitkan.

Kini, penantian panjangku telah dimulai. Semangat baru menyapu hangat pembulu darahku. Aku akan terus belajar, menggapai dan melanjutkan apa yang belum ku selesaikan.

Dyne, Lexi, Liota, Ratu Peri, kalian bukan sekedar tokoh fiksi biasa. Kalian merefleksi berjuta karakter atasku. Terimakasih. 

Tunggu,
Akankah bahasa menjatuhkan cinta?




..bersambung..

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...