Penantianku mungkin akan berujung sebuah entah. Dari berjuta bias kata-kata, mungkin aku akan menang. Menang untuk diriku sendiri. Aku terus belajar, dan menikmati kebodohanku. Menjadi yang terus bodoh hingga merasa aku harus tahu. Jutaan kata dan teori masih sempat aku pelajari. Aku menikmati segalanya. Pada awalnya, aku menulis hanya untuk mengerti seberapa besar kebodohanku. Seberapa penting tulisan itu mengubah seseorang. Dan kini, aku mulai mengerti. Seberapa berartikah diriku atas diriku sendiri?
Aku terperanjak..
Saat bahasa melilit tubuhku.
Memaksaku untuk mengerti tanpa pernah ku ingini
Penantian itu berujung akan jawaban.
Namun, langkahku terseok.
Aku tergelincir akan kebingunganku sendiri.
Jemariku mengudara. Tanganku menari-nari sekenanya. Entah berapa juta orang menertawakan kebodohanku itu. Aku tak peduli. Mereka mungkin tak akan pernah tahu, seberapa berharganya tulisan itu dimataku. Yang mereka tahu hanyalah kegagalanku menjadikannya sebuah buku. Sungguh, begitu menyakitkan.
Aku bukan seorang penulis yang baik. Yang aku bisa hanyalah belajar dan belajar.
Memahami seluk beluk sastra, susastra, semiotik, semantik, dan berjuta tautan linguistik lainnya.
Kebodohanku ini terus membuat langkahku menyeok.
Semakin ku belajar, idealis itu akan terus memudar.
Terlintas beberapa makna yang tersirat dari jutaan kata yang kurangkai.
"Pada lini masa, seseorang berjalan tanpa henti. Hingga dihentikan hujan."
Demikian sebutku dalam buku yang gagal ku terbitkan. Begitu memalukan. Menyakitkan.
Kini, penantian panjangku telah dimulai. Semangat baru menyapu hangat pembulu darahku. Aku akan terus belajar, menggapai dan melanjutkan apa yang belum ku selesaikan.
Dyne, Lexi, Liota, Ratu Peri, kalian bukan sekedar tokoh fiksi biasa. Kalian merefleksi berjuta karakter atasku. Terimakasih.
Tunggu,
Akankah bahasa menjatuhkan cinta?
..bersambung..