Kakimu yang jenjang terus menapaki hutan. Berjalan kian
kemari dengan membawa sebuah pot bunga kesayanganmu. Salamah mengerlipkan
matanya yang ayu ketika melihat sebuah kupu-kupu yang terbang di dekatnya.
Bilur dalam hatinya mungkin masih jelas terlihat. Namun, tidak dengan senyumnya
yang manis. Kupu-kupu itu hinggap tepat di atas jari telunjukmu. Kau tiupi
perlahan dan serangga cantik itu terbang meninggalkanmu. Raut wajahmu tak lagi
menggigil ketakutan. Seperti ketika kau menyeringai karena anakmu tertelan
ombak itu, atau ketika kau tahu bahwa suamimu hilang di tengah laut. Kau hanya
ingin menikmati alam. Itu sebabnya kau menjajakan tubuhmu di sana. Kau memilih
untuk menemani pohon kecubung itu tumbuh dengan baik. Kau mengerti pot kecil
itu tak sanggup lagi untuk menampung pohon kecubung yang kau tanam. Kau ini
tidak gila, kau hanya ingin mengasihi pohon kecubung itu layaknya
anakmu sendiri. Sebab dulu kau ambil tanah kuburan anakmu yang mati tenggelam
itu untuk kau tanamkan pohon kecubung. Apa salahnya seorang ibu menyayangi
putranya? Apa salahnya juga membiarkannya tumbuh kembali menjadi sebuah pohon? Dengan begitu kau kembali dapat memeluk tubuhnya yang hangat melalui dahan-dahan
yang tumbuh. Kau pun dapat pula mengasihi dan merawatnya melalui pohon kecubung
itu. Tanganmu begitu mulus untuk merawat pohon seindah itu. Sebagian orang
mengira bahwa kau ini gila.
Salamah terus berjalan, menapaki jalanan hutan.
Berkelok-kelok terjal serta berduri. Ia tak lagi peduli dengan suara ceracau
burung yang terus memanggilnya. Kau melihat sebuah pancuran air yang jernih,
kau serta-merta menghampirinya dengan langkah tegas. Menampungnya dengan cawan
yang ada dalam bakul yang kau gendong. Cawan itu penuh berisi air jernih, kau
ambil sedikit dalam tengadah tanganmu. Lalu kau hirupnya beberapa tetes dengan
mulutmu yang kering, agaknya kau kehausan setelah perjalananmu menuju kemari.
Cawan itu terus kau sunggi berapa lama sembari kau berjalan. Hingga sampailah kau pada tujuanmu.
Tempat di mana kau mencurahkan kasih sayangmu. Tempat di mana matamu tak mampu
berhenti berkedip, tempatmu berkeluh kesah, tempat di mana kau
mencurahkan segala kerinduan pada anakmu. Pohon kecubung kecintaanmu. Pohon
itu tampak mendayu-dayu, sepertinya ia kehausan. Kau mengelus dahannya yang
hijau, serta memetik bunganya yang berwarna putih susu itu dengan lembut.
Mengalung-alungkannya ke udara. Seperti waktu kau menggendong putramu yang
masih balita. Atau bahkan seperti ketika kau mengelus-elus kepalanya dan
membuat rambutnya berantakan. Kau tersenyum kegirangan, dan membuat bunga indah
itu menari-nari kian kemari. Sinar matahari menjadi saksi, betapa besar kasih
sayang seorang ibu pada putranya. Kau mengerti bagaimana caranya untuk
menghilangkan bilur di dadamu itu. Kau tahu betul.
Dahulu, kau sempat memutuskan untuk menikah lagi. Kau
mengenal lelaki itu saat kau tengah menjual hasil lautmu. Lelaki itu seperti
bekas pejuang, tubuhnya tegap, suaranya pun lantang. Wajahnya juga rupawan,
serta yang terpenting ialah dompetnya tak setipis dompetmu. Yang kau
inginkan hanya untuk menyambung hidup. Dengan menikahinya hidupku kan sentosa, pikirmu. Dan akan memiliki
berpuluh anak lelaki seperti putramu. Namun, kau takut bahwa ia tak mengasih
pohon kecubung yang kau cintai itu. Kau takut tak bisa lagi memeluk dan
memberinya kasih sayang. Kau takut dirimu benar-benar melupakan jagoan lamamu.
Lelaki itu kemudian meninggalkanmu, dengan alasan sama, kegilaanmu terhadap
pohon kecubung itu.
Akhirnya
kau putuskan untuk tinggal di hutan. Tempat di mana pohon kecubung itu kau
tanam dan kau besarkan. Tak ada orang yang mengerti apa yang kau kerjakan di
sana. Setiap hari kau membawakan secawan air itu untuk kau sirami. Memeluknya, dan membiarkan lingkungannya bersemi
sebagaimana layaknya.
Salamah sungguh mencintai putranya, dan lagi ia mencintai
pohon kecubung itu. Kasih sayangnya tak pernah disangsikan. Tak akan ada
seorang pun yang mengerti alasannya. Salamah terus membiarkannya menjadi
misteri bagi orang-orang terdekatnya. Lagi pula tak ada lagi yang harus ia
hidupi. Semuanya mati tertelan ombak, belum lagi kerabatnya pernah
memberikannya pilihan. Untuk memasungnya atau pergi dari rumahnya sendiri.
Mungkin bilur itu terus merambah, namun tak seorang pun tahu dan melihatnya.
Seberapa besar kini bilur itu mencabik hati Salamah. Yang ia tahu, ia
masih mencintai pohon kecubung itu.
Kau tak ingin mengenangnya sebagai putramu yang mati, kau
hanya ingin merawat roh putramu yang ada dalam pohon kecubung itu. Tak hanya
itu kau juga merawat lingkungan sekitar pohon kecubung itu dengan kasih sayang
dan tanganmu yang lembut. Kau ingin merawat tempat hidup putramu. Kau tahu
betul putramu akan hidup tenang apabila sekitarnya pun demikian. Kau agaknya
seperti para ekofeminis yang sok peduli akan lingkungan. Bukan itu maksudmu,
kau hanya ingin anakmu tumbuh dan hidup kembali.
Melalui tanganmu yang lembut, alam ini akan amerta.
Terimakasih telah mengapresiasi tulisan ini. Pembaca yang
budiman, senang rasanya bagi saya dapat menuliskannya. Lalu Anda membacanya
serta merta mengerti akan maksud yang saya inginkan. Tulisan ini sebenarnya
ialah lanjutan kisah dari prosa yang sebelumnya saya buat yang berjudul
Perempuan Pembawa Pot Bunga dan juga cerpen yang berjudul Bilur. Dua karya
analekta saya ini menceritakan tentang seorang perempuan feminis yang hidup
sebatangkara dan berjuang untuk tetap hidup, dalam cerpen Bilur perempuan
tersebut kehilangan putranya yang sedang melaut. Tragedy tersebut membuatnya
bertingkah tak lazim. Pada prosa Perempuan Pembawa Pot Bunga sang perempuan
menanam biji kecubung kedalam sebuah pot bunga dengan tanah kuburan anaknya
yang mati tenggelam.
Nah, dalam analekta atau kumpulan ketiga tulisan yang saya buat
ini, saya mencoba untuk mengangkat beberapa macam isu. Yang pertama ialah isu
kesetaraan gender, di mana dalam cerpen dan prosa sebelumnya saya menggambarkan
Salamah (nama tokoh perempuan) menghidupi anak dan suaminya yang lumpuh dengan
bekerja sebagai pelaut. Kerap kali perempuan mengalami subordinasi dalam
struktur kehidupannya, baik sosial maupun ekonomi dan bahkan politik. Tokoh
Salamah yang feminis juga mengajarkan kita untuk terus memperjuangkan hak dan
suaranya, walaupun ia tahu adat setempat berkata lain.
Kehidupan Salamah yang keras membuatnya tegar dan siap
melakukan apa saja untuk menghidupi anak dan suaminya. Sayangnya, dalam cerpen
Bilur saya menaikan konflik dengan tenggelamnya anak dan suami Salamah. Ini
juga meluas pada isu kemanusiaan dan psikologi.
Dalam cerpen yang berjudul Perempuan Tak Kasat Mata ini
saya mencoba untuk mengambil isu ekofeminisme. Di mana saya mengibaratkan bahwa
dengan kasih sayang seorang perempuan, seorang ibu alam ini akan terawat dan
abadi. Ecofeminism berangkat dari sebuah asumsi bahwa eksploitasi dan hegemoni
atas alam berpengaruh pada kasus yang terjadi pada perempuan. Seperti yang saya
contohkan bahwa pelaut miskin yang merupakan suami Salamah akan kalah dengan
para eksportir ikan yang merauk laut dengan tekhnologi andalannya. Dalam konsteks
ekologis, ekofeminisme acapkali diartikan sebagai teori dan gerakan etika
lingkungan yang meletakan perempuan menjadi aktor utamanya. Selain itu, menurut
yang saya tahu, ekofeminis juga meneruskan anggapan mengenai laki-laki sebagai
pusat dalam pola kehidupan. Ekofeminisme mengibaratkan kelembutan alam yang
asri juga dimiliki oleh kaum perempuan.
Terimakasih telah menjadi pembaca dan apresiator tulisan
saya. Yang terus saya lakukan ialah belajar dan belajar. Tulisan ini juga
menjadi bukti akan kecintaan saya dengan dunia sastra. Semoga tulisan ini
menginspirasi pembacanya. Pembaca ialah konsumen karya sastra, tulisan ini akan
menjadi karya sastra apabila dibaca oleh konsumennya. Apresiasi ialah bonusnya,
namun dalam berkarya saya tak banyak mengharapkan apresiasi. Saya hanya ingin
berbagi hasil dari proses berpikir saya ketika menulis, serta menelaah seberapa
besar kualitas tulisan saya. Biasanya saya temukan dalam seberapa besar animo
pembaca terhadap tulisan saya. Terimakasih. Salam!
oleh Dinie Wicaksani