Langsung ke konten utama

Rasuk



Malam kembali mengerjapkan mata. Seperti ada yang bergerak keluar dari hidungnya. Meleleh dan menetes di pangkal bibir atasnya. Ia seka secepat kilat. Berbau anyir, seperti darah. Matanya tak nampak apapun, benar saja, penerang ruangan sengaja dimatikan. Darah itu terus mengalir dari hidungnya menuju leher dan dada, deras sekali. Seperti para korban kecelakaan yang fatal. Entah mengapa hidungnya bisa berlumuran darah sebanyak itu, lagi pula fisiknya sehat-sehat saja. Bukan seperti sedang terserang penyakit. Tak kuasa menahan darah yang terus mengalir, ia menerangkan lampu. Dan berlari ke sudut ruangan untuk berkaca. Sialnya, darah-darah itu menghilang. Lenyap seketika. Yang terpantul hanyalah sorot mukanya yang sehat, dengan rambut yang rapih. Kemana perginya darah-darah itu.
Tengkuknya merinding, seperti ada suhu rendah yang menjalar tepat di lehernya. Ia raba lagi dan lagi. Kini, pandangannya tertuju pada rak buku di sisi kanan kaca lalu mengambil sebuah buku. Buku tebal, lusuh, dan berdebu.
Satu demi satu lembar ia buka. Hening, tak ada sekecilpun suara yang tercipta. Rumah itu sedang kosong rupanya, hanya ada dirinya. Tetiba, seperti ada yang berjalan di belakangnya. Ia menoleh, mencari sesiapa yang tengah mengganggunya. Tak ada lagi. Mungkin rasa takutnya membuatnya semakin berhalusinasi. Ia terus membaca sehalaman demi halaman buku tebal itu. Suara tetesan keran yang ada di kamar mandi benar-benar mendamaikan. Belum lagi lonceng yang berbunyi karena tertiup angin menggantung rapih di depan pintu. Halaman demi halaman telah berhasil ia baca. Namun, sungguh aneh. Tetesan keran itu sedikit-sedikit berubah menjadi aliran air yang besar. Suaranya tak lagi mendamaikan. Jantungnya berdegup kencang. Matanya melirik ke kanan dan kemari. Siapa gerangan yang memainkan keran air tersebut? Apalagi jelas ia ingat bahwa yang ada dirumah itu hanyalah dirinya. Matanya merambah menyusuri pelataran ruangan. 

"Brak...!!!!!"

Ia tak sengaja menjatuhkan sebuah cangkir kosong. Jantungnya berdegup semakin cepat. Berlari menghampiri suara air tersebut, tepatnya di kamar mandi. Selangkah demi selangkah. Namun aneh, kembali lagi tak ada seseorang pun sedang bermain air di sana. 
Apakah makhluk itu lagi? 
Mencoba menggodanya? 
Lagi? 
Kali ini ia benar-benar ketakutan. Sorot matanya penuh dengan ketidakpastian. Bibirnya kelu. Belum lagi degup jantunya tak stabil. Ia berlari kesudut tengah ruangan. Bersimpuh dan menangis. Tetiba, ia terkaget ada seseorang mengetuk pintu. Mendengar suara itu, ia terus menggigil ketakutan. Menggigit-gigit jarinya. Bajunya basah akan keringat.

Di luar, ayunan bergerak dengan sendirinya. Berjungkat-jungkit semaunya sendiri. Sesaat angin berhembus menenangkan. Terdengar suara dehaman-dehaman kecil yang menyeramkan. Ayunan itu terus bergerak seiring dengan dehaman-dehaman itu, menyerupai lirik lagu. Namun tak ada seorangpun yang tahu siapa yang menyenandungkan lirik lagu itu. Tiba-tiba, seseorang berbaju putih duduk termenung di atas ayunan. Berambut panjang serta berbaju putih.
Menyanyikan lagu-lagu yang indah. Tangannya melambai-lambai. Wajahnya pucat sekali.

"Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
awas jo ngetoro
aku lagi bang wingo wingo
jin setan kang tak utusi
jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet..."

Ia mengunci pintunya rapat-rapat.  Berharap sosok itu tak lagi mengganggu hidupnya. 


Malam terus mengerjap. Percaya atau tidak, akan terus ada hal yang tidak kita lihat sedang asyik menjalankan kehidupannya. 
Cerita ini terinspirasi dari  kejadian ganjil yang saya alami. Saya mencoba untuk mengemasnya menjadi segar dan sengaja merubah cerita. Dari kecil, saya dapat merasakan hal-hal yang tak saya mengerti, terkadang saya melihat sosok-sosok aneh, namun tak pernah bisa saya ungkapkan seperti apa bentuknya dan bagaimana saya dapat melihatnya. Hanya saya yang mengerti. Percaya tak percaya inilah karya yang dapat saya ciptakan. Entah halusinasi, ataupun benar terjadi. Yang dapat saya sampaikan dalam tulisan ini ialah, kita hidup dalam dimensi yang berbeda. Kefanaan akan terus ada dalam hidup ini, walaupun kita tahu hidup ini nyata. Dan kita harus realistis. Salam hangat untuk "sesuatu" yang sedang berdiri di belakang pintu kamar. Yang terus membuat saya tak ingin menoleh kearahnya semenjak awal saya menulis ini. Teruslah saling menghormati satu sama lain. Jika kau tahu, dirimu mengabadi dalam tulisan ini. Satu lagi, rasa takut akan selalu hadir dalam diri kita. Datangnya merasuki pikiran mengacaukan semuanya. Entah kita akan terus membiarkannya mengacaukan atau menerimanya sebagai kekuatan baru. Merubah pola berpikir maksudnya. Entahlah, sampai sekarang pun saya masih belajar untuk menghilangkan rasa takut dalam diri saya. Untuk hal apapun dan dalam situasi apapun.

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...