Langsung ke konten utama

Ibu dan Satu September

Siang ini begitu terik.
Udara begitu panas.
Sumringah.
Gembira. 
Mengulang hari dan tanggal di tahun yang berbeda. Sama persis dengan hari ketika aku dilahirkan. Satu September, begitu acapkali ku dengar. Setiap tahunnya, mereka menyebutnya hari ulang tahunku. Ucapan mengalir deras dari semua teman dekat, dan beberapa sanak saudara.
Jam terus berdetak, sore pun tak kuasa ingin berganti tugas dengan siang. Tak lupa mentari pun ingin memicingkan sinarnya. Ku tunggu deringan telpon genggam. Menanti seseorang menelpon dan mengucapkan hal yang sama. Ibu. Tapi lama tak kunjung pula seseorang itu menelpon. Apa gerangan ia lupa tentang hari ini? Hari pertambahan usia, yang bagiku ini hari spesialku. Tak kuasa menunggu, akhirnya ku putuskan untuk menelpon terlebih dahulu.

"Hallo, Buk."
"ya, Din, ada apa?"

Suara khas yang selalu ku rindukan, yang selalu bisa membuatku tertidur nyenyak. 
Mengapa tak kau ucapkan hal yang sama dengan yang lain? Kau hanya diam dan membuat durasi telpon terus menghitung sia-sia. Tetiba, kau mengeluarkan suara mirip tangisan. Mengapa sontak kau menangis, Bu? Apakah pertanyaanku membuatmu terluka? Kau terus diam. Mungkin aku tak akan kuasa jika melihatmu benar-benar menangis di sana, sayangnya kita bercengkrama hanya via suara.

"Ibu tahu hari ini kamu berulang tahun. Tapi Ibu sedih, kamu makin dewasa. Ibu benar-benar kehilangan waktu bersama. Tanggal satu September memang momentum terindah bagi Ibu karena telah melahirkanmu. Dan terus mendampingimu di Satu September  di tahun-tahun berikutnya. Tetapi sekarang kamu sudah dewasa, kamu telah menemukan kehidupan sendiri dan meninggalkan Ibu dan Ayah."

Terkunci. 
Mulutku terkunci.
Enggan berbicara.
Tak lama berselang, air mataku meleleh. Demikian pikir Ibu? 

Akan terus ada momen-momen berharga    setiap hari. Akan terus ada hari spesial di setiap tahunnya. Ini bukan soal bertambahnya umur, apa salahnya untuk terus berkontemplasi apa saja yang telah kita lakukan? Sudahkah kalian mendapatkan yang kalian impikan? Sedang kalian tahu, waktu akan terus berjalan dan usia pun terus bertambah. 

Satu September akan terus ada di setiap tahunnya. Suatu kado yang indah bagi ku untuk sedikit mengerti akan hidup, menjadi yang berbeda di mana setiap orang berusaha menjadi yang berbeda agar terus dilihat orang.


Malam pun tiba. 
Terdengar suara dering telpon.
 Ibu, begitu tulisan dalam layar utama. 

"Selamat ulang tahun, Nak. Jadilah dirimu sendiri dan cepat pulang kerumah."

Postingan populer dari blog ini

#OpiniRakyat Apa Mulai Dibatasi?

  Musabab tulisan ini tidak diperkenankan di upload oleh Ins**g*m, berkali-kali diunggah tapi gagal, dengan alasan adanya tagar opini rakyat, maka kita abadikan di sini saja.. "Anjirlah dibego-in negara lagi!" Celetuk kita di dalam hati, ketika membaca berita harian di sosmed. Makin hari, negara ini makin lucu ya? Mulai dari kebijakan-kebijakan ambisius yang penerapannya kurang jelas, korupsi, monopoli kekuasaan, sampai pada penindasan terhadap kebebasan berekspresi.  Kita bahkan sangsi, apakah nanti anak cucu kita masih akan mengalami keterpurukan semacam ini atau tidak. Yang jelas, negara telah menjanjikan kedaulatan dan kesejahteraan. Namun, dalam penerapannya, justru membuat rakyat hancur berkeping. Kenapa ya, dalam setiap rezim pemerintahan ini selalu terjadi? Gue jadi ingat sama pemikiran ahli logika modern, Bertrand Russel, tentang kepercayaan diri. Seseorang yang bodoh akan selalu percaya diri, sedangkan orang yang cerdas akan selalu ragu. Jika keduanya diberikan keku...

Yaje Buana

Denting jam terus berbunyi. Suara bising itu melengang. Deru mesin tik yang terus berbunyi kian lama kian mereda. Lembaran kertas usang berserakan di atas meja. Lenguh suara nafasnya mulai menderu. Ada raut kegelisahan pada air mukanya. Perlahan-lahan coretan demi coretan itu terus terseka pada kertas itu, semakin lama semakin penuh. Tak lama, ia berjingkat dari kursi kantornya. Kemudian berputar arah. Dari sudut yang lain, datang seorang perempuan menghampirinya. “Strategi pemulihan kota? Hahahaha!” Ucapnya sembari menjumput selembar dari kertas yang bersebaran itu. Tampak pada raut wajahnya sebuah ekspresi geli namun ada sedikit rasa iba pada sudut matanya. “Tak habis pikir, Pusara Wanta, seorang Kepala Bagian Perumusan Kerakyatan negara ini mulai kebingungan mencari cara.” Perempuan itu menghampirinya selangkah demi selangkah. Menyandingkan dirinya pada tubuh kekar berkemeja yang mulai lusuh itu. Pusara yang tengah membawa segelas kopi arabika membalikkan tubuhnya pad...

Jikalau Rindu Kadaluarsa

Entah dalam konteks apa, kepalaku tiba-tiba menangkap sinyal yang tak biasa. Seperti ingin mencari-cari hal yang telah hilang, atau sekedar mengorek sesuatu yang telah usang terkubur, kepalaku hingar menemukan pertanyaan yang cukup aneh. "Akankah rindu akan kadaluarsa?" Ya, memang terdengar seperti remaja labil yang sibuk melucuti kebodohannya sendiri dalam romantisme cinta monyet.  Terdengar seperti bayangan semu yang digurat secara sengaja, cinta monyet dan romantisme remaja itu seringkali membawanya pada rindu yang enggan berkesudahan, katanya.  Meskipun, tedeng alih seperti romantika teenlit khas generasi akhir 90-an, rindu yang jatuh pada keningku, mungkin mampu dirasakan oleh semua makhluk. Benar saja, sebab ini bukan sembarang rindu, tetapi rindu yang telah digariskan. Seperti garis nadi yang diciptakan melingkar pada tangan, rindu bisa saja jatuh dalam takdir yang sama. Seakan-akan terlihat tidak mampu ditolak, atau diacuhkan begitu saja. Rindu menjelma seperti rina...