Mentari
terlalu pagi untuk menyinari. Sedangkan kau dan ibumu sudah siap untuk
berjualan sayur di tepi jalan sebuah pasar subuh yang ramai. Kau menyunggi
sayuranmu dengan susah payah, bagaimana dengan caramu yang berhati-hati agar
mereka tak terjatuh dan terberai. Ibu mu menyusulmu dengan mendorong sebuah
sepeda tua sepeninggal ayahmu, dengan membawa sebuah tas kecil berisi uang
receh. Mata mu sibuk kau usapi berapa kali, rasa kantuk sepertinya belum mau
pergi. sedangkan betapa kau ingat, di sisi lain teman-teman sebayamu masih
terlelap tidur dengan selimut hangat yang menutupi seluruh tubuh mereka.
Sedangkan kau harus pagi-pagi sekali mengantar ibumu berjualan sayur. Memang,
kau rasa hidupmu tak adil. Kau menilai bahwa betapa lamanya kau belajar untuk
mengenal Tuhanmu dengan memakfuzkan ayat-ayat di kitabmu. Namun, yang kau
dapatkan betapa Tuhan tak mengetahuinya. Kau ini sungguh berani menyembunyikan
rasa takutmu pada Tuhan. Hati-hati kau, Sulastri. Hidupmu sekeras pedal sepeda
tua yang dikayuh setiap pagi oleh ibumu. Kau tegar. Betapa tak dapat ku berkata
demikian, jika masalah gincu kau adalah ratunya. Kau mahir betul memainkan alat
kecantikan, bahkan ibu mu yang lebih tua pun tak mampu. Dan ketika ku ingat, bahwa kau adalah seorang
gadis muda yang cerdas. Dulu sewaktu kau berkata bahwa seorang akan lebih
cantik bila gincu yang ia kenakan berwarna senada dengan gaunnya. Namun, ketika
kau bilang lagi, cantik bukan semata-mata soal gincu. Cantik juga bukan
semata-mata soal tubuh yang indah, mata yang bulat, hidung yang mbangir, ataupun karena gaun panjangnya
yang tertiup angin. Lalu, kau juga menambahkan lagi bahwa setiap perempuan
memiliki kecantikannya masing-masing, memiliki keistimewaannya masing-masing
pula. Sulastri, kau pintar sekali merayuku.
Sekilas bersitan kenangan itu kembali
menyeruak ingatanku, Sulastri. Kau begitu tahu bagaimana caranya meresonansikan
kenangan, gestur tubuhmu yang gemulai, ketika kau ajarkan aku Tarian Bondan itu
serta musik-musik pengiring tarianmu menjadi harmoni terindah dalam hidupmu.
Kau menimang-nimang boneka, meliuk-liukan tangan ngithing mu yang lentik, tak lupa posisi tubuhmu yang ndegeg, seakan menyempurnakan tarianmu
yang indah itu. Mengingatkanku pada ibuku yang telah lama mati. Kau injak kendi-kendi
itu dengan halus, seperti kau menjaga anak-anakmu kelak. Aku tak dapat
melupakan perkataanmu yang dulu itu, Sulastri. Ketika kau berkata soal sudut
pandang. Aku sempat berpikir, kau ini gadis desa biasa dengan gincu murahan
yang tak tahu merk-merk alat kecantikan yang mahal. Untuk apa berkata tentang
sudut pandang. Sulastri, kau ini bukan siapa-siapa. Apa kau berpikir karena kau
mahir berdandan dan juga menari menjadikan kau ini segalanya? Tidak. Di atas
langit mungkin masih ada langit selanjutnya. Lalu sebenarnya aku tak perlu
menyalahkanmu begitu juga, ini menjadi kesalahanku ketika aku harus menolak
mentah-mentah tawaranmu untuk sekedar ikut kau dan ibumu berjualan sayuran di
pasar pagi. Untuk apa berbicara soal sudut pandang? Kau ingin menyuarakan suara
rakyat yang memang sedari dulu hilang. O, atau kau ingin memoleskan gincu pada
ucapan-ucapan pemerintah yang semena-mena memberi janji pada saat kampanye?
Atau mungkin kau ingin menarikan tarian yang erotis untuk membangkitkan
kesadaran pemerintah akan janji-janjinya yang belum terealisasi?
Sulastri, tetap menyunggi sayurnya. Ia
tetap bersuara melalui sudut pandangnya yang berbeda. Baginya, untuk apa
menjadi sama seperti yang lain apabila menjadi yang berbeda pun akan lebih
baik. Menjadi baik akan menjadi buruk apabila dipandang buruk, menjadi buruk
akan menjadi baik apabila dipandang baik. Betul kata Sulastri, warna gincu tak
selalu cocok dengan warna gaun. Karena menurutku, warna gaun seharusnya senada
dengan warna sepatu. Ah, Sulastri. Ini soal selera, dan sudah barang tentu soal
sudut pandang.
Oleh Dinie W. Wicaksani