Diam.
Meliuk-liuk.
Ia menari-nari di bawah anyaman rotan.
Serta tanaman anggur yang menjalar dengan rapih.
Kebayanya tersingkap.
Semilir angin menerbangkan sebagian kainnya,
Lalu, ia menendang-nendang pasir yang lembut.
Ia meniupi pasir putih yang ada digenggamannya.
Separuh rambutnya tergerai kusut.
Terbang tak jelas menuju kemilau awan yang biru.
Tak lama kemudian, diambilnya sebuah cawan.
Berisi air anggur yang sedikit memabukkan.
Lalu perlahan ia menengguknya.
Terlihat urat lehernya membusung.
Kurus.
Menggoda.
Secawan anggur itu tinggal separuh.
Lalu ia mendengar suara parau.
Perlahan tapi pasti.
Keras. Semakin keras.
Teriak. Gaduh.
Sesaat, suara ombak mendamaikan.
Oh. Tidak. Mensunyikan.
Ia menari lagi.
Menyusuri ombak dan karang yang siap menghempaskannya.
Tak lupa sebuah pot ia jinjing.
Ini hidupku, katanya.
Anakku tertanam di sini, batinnya.
Bukan.
Anaknya mati tertelan ombak. Terbujur kaku.
Ini tanah dari kuburan anakku.
Namun liat, ia telah hidup kembali. Melalui sebuah bunga kecubung berwarna putih susu.
Sungguh.
Anggur ini memabukkan, teriaknya pada ombak.
Ada beribu pertanyaan yang hadir dikepalanya yang kosong.
Mengapa kau telan anakku?
Lalu. Petir menyambar.
Turunlah hujan,
Bunga kecubung itu basah bukan kepalang.
Tanahnya becek.
Minumlah.
Minumlah sepuasmu nak, teriaknya.
Aku sendiri bersama bayang di raga kecubungmu.
Ah. Pikiran macam apa?
Aku memang gila.
Dunia memang gila.
Lalu, ia berlari ke sebuah tunggul-tunggul di sebelah saungnya.
Lusuh.
Tak beraroma.
Suara parau itu terdengar lagi.
Ibu.
Ia menoleh.
Mencari-cari dimana suara itu.
ibu.
Lagi.
Suara itu lagi.
Ia bergegas mengambil pot bunga itu.
Ditaruhnya lagi.
Diambilnya lagi, kemudian ia tempelkan tepat di telinganya.
Anakku, batinnya.
Ah...otakku mengacau.
Kehilangan membuat semuanya begitu lucu.
Dunia, kemiskinan, roda, dan jari.
Semuanya bohong.
Lalu, ia tertidur bersama pot bunga dipelukannya.
Meliuk-liuk.
Ia menari-nari di bawah anyaman rotan.
Serta tanaman anggur yang menjalar dengan rapih.
Kebayanya tersingkap.
Semilir angin menerbangkan sebagian kainnya,
Lalu, ia menendang-nendang pasir yang lembut.
Ia meniupi pasir putih yang ada digenggamannya.
Separuh rambutnya tergerai kusut.
Terbang tak jelas menuju kemilau awan yang biru.
Tak lama kemudian, diambilnya sebuah cawan.
Berisi air anggur yang sedikit memabukkan.
Lalu perlahan ia menengguknya.
Terlihat urat lehernya membusung.
Kurus.
Menggoda.
Secawan anggur itu tinggal separuh.
Lalu ia mendengar suara parau.
Perlahan tapi pasti.
Keras. Semakin keras.
Teriak. Gaduh.
Sesaat, suara ombak mendamaikan.
Oh. Tidak. Mensunyikan.
Ia menari lagi.
Menyusuri ombak dan karang yang siap menghempaskannya.
Tak lupa sebuah pot ia jinjing.
Ini hidupku, katanya.
Anakku tertanam di sini, batinnya.
Bukan.
Anaknya mati tertelan ombak. Terbujur kaku.
Ini tanah dari kuburan anakku.
Namun liat, ia telah hidup kembali. Melalui sebuah bunga kecubung berwarna putih susu.
Sungguh.
Anggur ini memabukkan, teriaknya pada ombak.
Ada beribu pertanyaan yang hadir dikepalanya yang kosong.
Mengapa kau telan anakku?
Lalu. Petir menyambar.
Turunlah hujan,
Bunga kecubung itu basah bukan kepalang.
Tanahnya becek.
Minumlah.
Minumlah sepuasmu nak, teriaknya.
Aku sendiri bersama bayang di raga kecubungmu.
Ah. Pikiran macam apa?
Aku memang gila.
Dunia memang gila.
Lalu, ia berlari ke sebuah tunggul-tunggul di sebelah saungnya.
Lusuh.
Tak beraroma.
Suara parau itu terdengar lagi.
Ibu.
Ia menoleh.
Mencari-cari dimana suara itu.
ibu.
Lagi.
Suara itu lagi.
Ia bergegas mengambil pot bunga itu.
Ditaruhnya lagi.
Diambilnya lagi, kemudian ia tempelkan tepat di telinganya.
Anakku, batinnya.
Ah...otakku mengacau.
Kehilangan membuat semuanya begitu lucu.
Dunia, kemiskinan, roda, dan jari.
Semuanya bohong.
Lalu, ia tertidur bersama pot bunga dipelukannya.
-DN-