Matanya
terbelalak. Giginya berdesit, gerahamnya mengatuk-ngatuk. Salamah menjinjing
roknya. Ia berlari menyusuri keramaian, mencari anaknya yang tertinggal di
pasar. Lembayung senja telah memayungi,
semburat jingganya sudah ayu, matahari siap menggantung di bawah permukaan
bumi. Salamah berlari, keramaian tak ia hiraukan. Ia berlari lagi, mencari-cari
lalu menerka-nerka dimana anaknya. Semerbak aroma pasar ikan di pesisir pantai
benar-benar memabukkan. Namun baginya, itu hidupnya. Menjadi seorang nelayan
perempuan mungkin telah menjadi kesetiaan hidup. Ia tak lagi berpikir tentang
bagaimana ajakan pemerintah kota, orang-orang berseragam coklat muda itu selalu
menyuruhnya untuk tidak menangkap ikan semaunya. Lalu soal LSM yang katanya
ingin cinta lingkungan namun tak perduli nasib orang sepertinya. O, apa lagi para anggota DPR yang sibuk
mempertahankan kepentingan politiknya yang kadang timpang? Mungkin jauh di
tengah laut, Salamah tak lagi mengerti soal itu. Hei, lalu, dimana anaknya? Akankah
anaknya nyaris sama seperti nasib para aktivis modern yang suaranya hilang
tertelan senandung dusta para aktor berdasi rapih yang duduk dan bekerja di
ruangan berpendingin. Salamah bergeming. Pikiranku terlalu picik, batinnya.
Dengan kaki telanjang, ia papas jalan-jalan berpasir putih nan lembut. Melindas
sedikitnya kerikil-kerikil kecil, belum lagi ranting-ranting yang terbawa
ombak. Lembayung senja makin menerka, mengisyaratkan agar dirinya akan segera
pergi. Salamah bersedih. Merana seperti kupu-kupu yang hidup ditaman
bebungaannya yang selalu kuncup, yang tak mau mekar. Akankah anaknya pun
tertelan ombak? Seperti hal suami dan ayahnya? Yang mati tergulung ombak saat
menjala ikan di tengah laut lepas. Salamah letih. Derap langkahnya makin
memburu, mengalahkan derik bumi yang fana. Anakku, anakku, dimana kau.
Teriaknya. Sudahlah tak ada gunanya bersuara di tengah keramaian, kau ingin
membuat semua orang melihatmu? Lalu mengerti apa keresahanmu? Setelah tau itu,
orang-orang akan iba padamu? Hei, Salamah. Kau ini perempuan tangguh, bagaimana
mungkin seorang anak perempuan dapat hidup berdua dengan ibunya yang juga
seorang nelayan dengan ayah yang mati tergulung ombak dapat seceria dirimu?
Lalu kelak ketika kau dewasa, suami mu pun ikut menjadi tumbal kedasyatan laut
lepas. Dan kini, anakmu hilang entah kemana. Namun, kau tetap dengan paras
cantikmu, dada yang membusung, menggoda, serta kulit putih langsat yang
menggiurkan. Gincu merah merona, serta aroma khas melati yang memabukkan.
Sedangkan kau tau, sekelilingmu mencium bau anyir ikan pun sudah biasa. Salamah
terduduk lesu, ia tak mungkin pulang sebelum anak itu ikut dengannya,
Alamakjang,
hari makin malam. Urat nadi Salamah makin tegang. Anaknya belum saja memunculkan batang
hidungnya. Ah, lagi-lagi ia bersedih. Bukankah kau ingat, Salamah. Ketika malam
makin larut, kau masuk kekamar pengapmu bersama suami dan anakmu dengan
terkadang sekujur tubuh menggigil kedinginan. Ya, karna memang negeri berantah
itu dingin sekali jika larut telah tiba. Lalu untuk apa bersedih lagi? Bukankah
kau telah terbiasa akan luka? Bukankah kau terbiasa akan cacian dunia? Yang
mengharuskan dirimu menjadi perempuan yang tangguh? Di mana setiap malam, kau
harus berlayar bersama nelayan laki-laki yang lain untuk menebar jala. Lalu,
kau harus menjual hasil tangkapanmu di siang hari. Yang mengharuskan paras
cantikmu menjadi lusuh dan bau matahari. Belum lagi, kau harus mengurus anakmu
yang buta dan tuli itu dengan penuh kasih sayang. Tak lupa mengajarkan siapa
Tuhannya dan bagaimana caranya agar anakmu tumbuh bersama adat yang baik. Kau adalah
seorang perempuan tangguh, Salamah. Di mana lagi akan ku temui seorang wanita
tangguh seperti mu? Tiba-tiba langit muntah satu demi satu. Ah, belum lagi
sekarang hujan. Gaun lusuhmu kini harus basah terkena air hujan. Pasir yang
melekat di kaki telanjangmu harus luntur satu demi satu. Ah, tunggu. Pasar ini
makin sepi saja. Beberapa orang sibuk menanyai anakmu. Sedangkan kau kini
tertunduk lesu, diam, dan mendaratkan tubuhmu di sebuah tunggul-tunggul dekat
tempat penjemuran ikan.
Salamah, kau tak
seharusnya tertunduk lesu seperti itu. Rona wajahmu kusam, kau ini perempuan
tercantik di negeri Berantah ini. Rambutmu yang hitam ikal kini lusuh terkena
air hujan dengan sesekali pasir putih itu. Lihat Salamah, mahkotamu lusuh. Kau
ini perempuan tangguh. Kau harus ingat itu.
Tiba-tiba,
seseorang berkata dari kejauhan. Suaranya memecah lamunan Salamah.
“Salamah, anakmu mengambang di hulu.
Ia jatuh dari kapal siang tadi. Kemarilah..”
Ya,
Salamah. Hati mu seperti hendak lepas. Dunia seperti tak berpihak padamu. Air
matamu seperti telah habis untuk menangis. Entahlah, dalam hidup ini banyak hal
yang seharusnya tak terjadi. Namun, perempuan tangguh tak akan mempermasalahkan
hal itu. Salamah, kubur anakmu dengan cinta.
Salamah, janda
kembang desa Berantah, bilurnya bertambah.